Mataram (Inside Lombok) – Insentif Pajak Penghasilan (PPh) final untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang ditanggung pemerintah akan diperpanjang. Adanya ketentuan mengenai batas peredaran bruto atau omzet tidak kena pajak senilai Rp500 juta bagi UMKM bisa lebih menguntungkan jika bersifat permanen, tidak hanya selama pandemi Covid-19.
Sayangnya, pelaku UMKM di NTB menilai kebijakan tersebut perlu dikaji kembali. Pasalnya, tidak selamanya UMKM ini bisa beromzet Rp500 juta setiap tahunnya. Bisa saja dalam beberapa tahun mengalami penurunan pendapatan, sedangkan insentif pajak sudah ditetapkan secara permanen dengan potongan pembayaran 50 persen.
“Apalagi kondisi sekarang mau dikenakan pajak 50 persen, digratiskan saja belum tentu mereka bisa bertahan. Bicara omzet saat seperti ini agak waw,” kata Sekjen Ikatan Pengusaha Muslimah Indonesia (IPEMI) NTB, Ajeng Roslinda, Kamis (3/2).
Kecuali omzet pelaku usaha sudah naik di atas Rp500 juta, mungkin bisa saja menerapkan kebijakan tersebut. Menurut, Ajeng seharusnya pemerintah memberikan diskon pajak secara bertahap, dan bukan permanen seperti sekarang ini..
“Misalnya berapa tahun dikasih bebas pajak dulu, kemudian 50 persen, mungkin besoknya jangan 50 persen lagi, mungkin berapa persen sampai melihat perkembangan UMKM-nya,” tuturnya.
Untuk diketahui, perpanjang insentif PPh final Aturan itu tidak termasuk dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 3 Tahun 2022 yang mengatur perpanjangan masa berlaku insentif pajak untuk wajib pajak terdampak COVID-19. Insentif pajak untuk UMKM sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Melalui fasilitas itu, UMKM yang omzetnya hingga Rp 500 juta dalam setahun tidak perlu membayar PPh final yang tarifnya 0,5 persen. Penghitungan pajak hanya dilakukan pada omzet yang di atas Rp500 juta.
UU HPP telah mengubah ketentuan tentang PPh mulai tahun pajak 2022. Beleid itu mengatur wajib pajak orang pribadi UMKM yang membayar pajak menggunakan skema PPh final UMKM akan mendapatkan fasilitas batas omzet tidak kena pajak senilai Rp500 juta.
“Kaji ulang, standar UMKM-nya kan bicara omzet. Nah omzetnya itu berapa lama, itu kan juga harus diukur. Misalnya sekarang lagi Rp500 juta lagi bagus, besok kalau dia turun sedangkan sudah di berlaku permanen 50 persen apa mereka mau tetap membayar pajak di tengah tidak stabilnya usaha,” jelasnya.
Dikatakan, pemerintah seharusnya mengambil jalan tengah dalam menetapkan kebijakan tersebut. Pasalnya dengan mempermanenkan diskon pajak bagi UMKM belum sesuai dilakukan di tengah kondisi mereka yang usahanya naik turun. Jika kondisi stabil bisa saja diterapkan.
“Harus di ambil garis tengahnya, oke dipatok tetapi pemerintah dengan logikanya. Tahap pertama bisa mungkin 20 persen baru berlanjut ke berapa persen. Jangan langsung permanen,” tandasnya. (dpi)