Mataram (Inside Lombok) – Jaksa penyidik pidana khusus meminta Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) untuk mendeskripsikan hasil audit kasus dugaan korupsi dana rehabilitasi Gedung UPT Asrama Haji Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2017.
Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Humas Kejati NTB Dedi Irawan di Mataram, Rabu, mengatakan permintaan itu merupakan tindak lanjut penyidik yang telah menerima surat hasil audit dari BPKH.
“Jadi dari BPKH itu (hasil audit) masih kurang pas,” kata Dedi Irawan.
Hasil audit tersebut, kata dia, berkaitan dengan kerugian negara yang muncul dari temuan BPKH. Nominal kerugiannnya cukup besar, mencapai Rp1,1 miliar. Temuan didapatkan dari kelebihan pembayaran pekerjaan.
Adapun pekerjaan yang kelebihan pembayaran itu muncul dalam item renovasi dan pemeliharaan gedung, seperti pembangunan hotel senilai Rp373 juta, Gedung Mina Rp235 juta, Gedung Sofha Rp242 juta, Gedung Arofah Rp290 juta, dan Gedung PIH Rp28 juta.
Lebih lanjut, Dedi mengatakan, dengan adanya permintaan ini penyidik belum dapat menentukan langkah termasuk rencana pemeriksaan lanjutan, khususnya kepada para pihak yang mengetahui soal realisasi anggarannya.
Namun dalam locus yang sama, jaksa penyidik telah menetapkan tersangka untuk penyidikan dugaan korupsi dana Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sewa gedung periode tahun 2017-2019.
Jaksa penyidik menetapkan dua pejabat UPT Asrama Haji NTB yang merupakan kepala dan bendahara berinisial AF dan IJK. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka karena diduga telah menggunakan dana yang seharusnya disetorkan ke negara untuk kepentingan pribadi.
Akibat perbuatannya, muncul kerugian negara mencapai Rp400 juta. Penyidik menetapkan nominal tersebut sebagai kerugian negara berdasarkan hasil audit Inspektorat NTB.
“AF dan IJK ditetapkan sebagai tersangka dengan ancaman pidana Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 20/2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” katanya. (Ant)