Mataram (Inside Lombok) – Walikota Bima periode 2018-2023, Muhammad Lutfi resmi jadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (5/10) malam kemarin. Ia ditetapkan sebagai tersangka pada kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa serta gratifikasi senilai Rp8,6 miliar.
“Dengan adanya pengaduan masyarakat dan analisis dilakukan telaah lebih mendalam tentang dugaan tindak pidana korupsi. Setelah KPK menemukan adanya tindak pidana korupsi, maka kami lakukan penyidikan dan hari ini kami menyampaikan dan malam hari ini ada satu orang tersangka Walikota Bima periode 2018-2023,” kata Ketua KPK RI, Firli Bahuri dalam keterangan persnya yang diterima Inside Lombok, Kamis (5/10) malam.
Ia mengatakan pada tahap ini kepentingan penyidikan, mantan Walikota Bima inisial MLI (Muhammad Lutfi, Red) akan ditahan selama 20 hari ke depan. Penahanan akan dilakukan mulai 5-24 Oktober mendatang di Rumah Tahanan Negara KPK.
“Dugaan kasus tindak pidana bahwa MLI menjabat Walikota Bima 2018-2023. Sekitar tahun 2019 MLI bersama dengan salah satu keluarga intinya mulai mengkondisikan proyek yang akan dikerjakan oleh pemerintah Kota Bima,” katanya.
Tahap awal yang dilakukan dengan meminta dokumen proyek yang akan dikerjakan di berbagai dinas di Kota Bima. Antara lain Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bima. “Selanjutnya MLI memerintahkan beberapa pejabat di dinas PUPR dan BPBD menyusun proyek yang menyusun proyek yang bernilai besar dan dilakukan di rumah dinas,” katanya dalam keterangan pers.
Adapun nilai proyek di Dinas PUPR dan BPBD di Kota Bima yaitu anggaran tahun 2019-2020 mencapai puluhan miliar. Selain menyusun proyek-proyek di dua dinas tersebut, MLI disebut memilih kontaktor yang akan digunakan pada proyek tersebut. “Proses lelang tetap berjalan akan tetapi hanya sebagai formalitas semata. Dan faktualnya para pemenang lelang tidak memenuhi kualifikasi persyaratan sebagaimana ketentuan,” ungkapnya.
Setelah dimenangkan untuk mengerjakan proyek-proyek, MLI menerima setoran dari para kontraktor sebesar Rp8,6 miliar. Teknis penyetoran tersebut menggunakan rekening orang lain yang dipercaya oleh MLI termasuk anggota keluarganya.
Selain bermain dalam proyek-proyek besar, MLI juga melakukan gratifikasi dalam bentuk uang pihak lainnya dan KPK masih akan melakukan penyelidikan. Dengan kasus tersebut, tersangka MLI disangkakan melanggar pasal 12 huruf i dan atau pasal 12 huruf I UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi sebagaimana telah diubah undang-undang 2001. (azm)