Mataram (Inside Lombok) – Kenaikan harga sejumlah kebutuhan pokok (bapok) yang baru-baru ini terjadi dinilai akan memicu terjadinya kemiskinan baru. Lantaran momentum pemerintah dalam menaikkan harga bapok seperti bahan bakar minyak (BBM), listrik, minyak goreng dan lainnya secara masif di tengah himpitan ekonomim masyarakat dinilai tidak bijak.
“Adanya kenaikan harga komoditi bapok tersebut bisa merongrong pendapatan masyarakat kelas menengah, karena kualitas pembelajaan masyarakat akan berkurang,” kata pengamat ekonomi Universitas Mataram (UNRAM), Dr Firmansyah, Selasa (26/4).
Akibat keuangan masyarakat difokuskan ke arah pembelian barang bapok yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Konsekuensinya akan mengurangi pembelanjaan yang lain, yang secara teknis bisa menghidupkan ekonomi rakyat terutama UMKM secara tidak langsung.
“Ada pembelanjaan yang banyak ditunda atau sama sekali tidak dibelanjakan akibat dari kenaikan harga kebutuhan pokok ini,” tuturnya.
Artinya, mau tidak mau masyarakat harus jeli dalam berbelanja untuk kestabilan keuangan mereka kedepan. Karena masyarakat tidak punya jalan lain selain merasionalisasikan pembelanjaan. Dampak dari rasional pemebelanjaan itu tentu akan sektoril seperti berdampak kepada para pelaku UMKM, dunia usaha sampai bisnis.
“Namanya kebutuhan pokok seperti BBM dan bahan dapur merupakan belanjaan yang tidak bisa ditunda. Berbeda dengan kebutuhan sekunder yang tidak wajib dibeli,” terangnya.
Sehingga beberapa kelompok usaha akan terganggu akibat pola perilaku yang baru akibat kenaikan barang pokok ini. Karena produk ini bersifat subsidi, kemudian dikurangi subsidinya sehingga berdampak pada kenaikan harga.
Untuk itu pemerintah diharapkan tidak memporsir belanja di sektor BBM, lisrtik minyak goreng dan lain-lainnya. Lantaran diasumsikan masyarakat belum mampu membeli secara mandiri tanpa subsidi.
“Kenyataannya pandemi ini belum berlalu, aktivitas ekonomi juga belum stabil. Jika ditekan dengan kenaikan harga ini dikhawatirkan dapat meningkatkan kemiskinan, pengangguran, karena terjadi PKH,” ungkapnya.
Dikatakan, kalaupun pemerintah ingin menaikkan harga bapok jangan secara masif tapi harus diukur dan dipertimbangkan. Caranya dengan melihat kondisi mikro maupun makro ekonomi yang berkembang. Pasalnya ekonomi masyarakat saat ini belum pulih seutuhnya. Masih tahap pemulihan akibat pandemi Covid-19. Dalam kondisi seperti ini. Pemerintah baiknya memberikan insentif. Karena harga ini bisa disebut disinsentif.
“Geliat ekonomi masyarakat kalangan menengah ke bawah dalam bertransaksi akan tinggi jika harga kebutuhan pokok rendah. Apalagi rendahnya pajak hingga harga BBM,” tuturnya.
Kendati demikian konsekuensinya anggaran yang masuk ke APBN berkurang. Sehingga disarankan agar pemerintah bisa memilih kebijakan yang ideal dan seimbang. Walau mungkin APBN sedikit terpuruk karena pendapatan dari pajak tidak mencukupi.
“Maunya pajak tidak terlalu tinggi, dan masyarakat masif berbelanja, masih bisa mengalokasikan uangnya untuk bertransaksi,” jelasnya. (dpi)