23.5 C
Mataram
Sabtu, 21 September 2024
BerandaBerita UtamaKoalisi PPA NTB Minta Kemenag dan Ponpes Berhenti Tutupi Kasus Kekerasan

Koalisi PPA NTB Minta Kemenag dan Ponpes Berhenti Tutupi Kasus Kekerasan

Mataram (Inside Lombok) – Sejumlah aktivis perwakilan berbagai organisasi masyarakat sipil yang bergabung dalam Koalisi Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) NTB menggelar pertemuan, membahas kasus kekerasan yang kerap terjadi di lingkungan pondok pesantren (ponpes) di NTB saat ini, termasuk cara penanganannya. Beberapa organisasi yang hadir antara lain InSPIRASI NTB, LBH APBIK NTB, PBHBM, SANTAI NTB, SOBAT NTB dan PBHM NTB.

Dalam pertemuan itu dijabarkan data Komnas Perempuan yang menyebutkan ponpes menjadi lembaga pendidikan nomor dua dengan kasus kekerasan seksual. Untuk itu, semua orang harus mengambil bagian dalam mewujudkan ruang aman bagi perempuan dan anak, terutama lembaga yang secara langsung memiliki kewenangan terhadap ponpes, seperti Kemenag dan pemerintah daerah.

Perhatian bersama ini dinilai penting, untuk segera menghentikan kekerasan dan tidak melakukan pembiaran atas marak munculnya korban kekerasan di lingkungan ponpes. “Jangan ada lagi upaya menutupi hanya karena alasan menjaga nama baik lembaga,” ujar Ketua Umum PBHM NTB, Yan Mangandar Putra, Sabtu (6/7) kemarin.

Diterangkan, Koalisi PPA NTB saat ini bersedia secara langsung atau dihubungkan dengan lembaga layanan lain seperti UPTD PPA bila dibutuhkan, terutama untuk pendampingan psikososial kepada anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). “Termasuk layanan konseling dengan psikolog, dan bahkan anggota koalisi PPA NTB yang memiliki layanan bantuan hukum seperti LBH APIK NTB, PBHM NTB, LBH PELANGI dan LPA MATARAM bersedia memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada ABH, baik sebagai anak saksi dan anak yang diduga sebagai pelaku tindak pidana,” jelas Yan.

- Advertisement -

Diakui, anak yang pernah melihat atau melakukan kekerasan pasti mendapat tekanan mental yang akan berdampak panjang kalau tidak segera ditangani. Bagaimanapun juga salah satu prinsip penting dalam perlindungan anak adalah kepentingan yang terbaik bagi anak.

Dicontohkan, pada kasus dugaan kekerasan yang dialami santriwati Ponpes Al-Aziziyah Gunungsari, Nurul Izzati yang saat ini dalam penyidikan polisi. Jika ditemukan ada pelaku dalam kasus itu, maka pendampingan juga harus diberikan.

Terpisah, Direktur Yayasan Tunas Alam Indonesia (SANTAI) NTB), Suharti mengaku kecewa dengan tidak adanya tanggapan dari kantor Kemenag NTB atas permohonan hearing yang rencananya akan dilakukan 8 Juli 2024, membahas permasalahan kekerasan di lingkungan ponpes ini. Padahal surat tersebut dikirimkan tanggal 3 Juli 2024, bahkan ada yang mengirimkan tanggal 1 Juli 2024.

“Kenyataannya tidak ada tanggapan, dalam waktu dekat kami berencana akan mengirimkan lagi suratnya. Apabila tidak ditanggapi maka akan mengadukan Kemenag NTB ke Ombudsman RI terkait dugaan maladministrasi dengan mengabaikan surat tersebut. Ada kesan Kemenag NTB ingin lari dari tanggung jawab terkait maraknya kasus kekerasan di ponpes, padahal mata rantai kekerasan di ponpes harus segera diputus,” jelasnya.

Direktur Yayasan Institut Perempuan untuk Perubahan Sosial (InSPIRASI) NTB, Nurjanah merincikan tuntutan Koalisi PPA terhadap Kemenag NTB dan seluruh ponpes di NTB. Antara lain agar segera bentuk satgas terkait pencegahan dan penanganan kekerasan di ponpes, dengan melibatkan berbagai unsur termasuk didalamnya media, dan masyarakat sipil; dan evaluasi ponpes terkait ada tidaknya tata kelola kelembagaan yang ramah perempuan dan anak. Termasuk ketersediaan ruang khusus bimbingan konseling yang layak, serta tempat pengaduan.

Kemudian perlunya monitoring berkala terhadap ponpes; adanya kurikulum khusus terkait kesehatan reproduksi dan pencegahan kekerasan/kekerasan seksual. Tahapan implementasinya dengan melakukan sosialisasi berkala pada awal masa orientasi santri/santriwati.

“Selanjutnya wujudkan kemenag yang transparan dengan publikasi hasil temuan satgas serta monitoring dan evaluasi berkala terhadap ponpes akan implementasi tata kelola kelembagaan yang ramah terhadap perempuan dan anak,” jelasnya. (r)

- Advertisement -


Berita Populer