Mataram (Inside Lombok) – Saat ini ada dua kasus kekerasan seksual di Lombok Timur (Lotim) yang masuk persidangan di pengadilan. Korban dari kedua kasus tersebut sama-sama masih berusia anak, yang berstatus santriwati di pondok pesantren milik terdakwa. Namun kedua terdakwa dari kasus tersebut melakukan upaya kasasi dan banding dengan putusan pengadilan atas perbuatan mereka.
Terhadap dua kasus yang sedang melakukan upaya hukum banding dan kasasi tersebut Lembaga Konsultasi dan dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Mataram (LKBH FH UMMAT) meyakini hakim yang mengadilinya nanti tetap akan memperkuat putusan pengadilan tingkatan sebelumnya.
“Karena pertimbangan hukumnya telah sesuai dengan fakta yang terungkap selama proses persidangan dan dianalisa secara teliti dengan ketentuan hukum yang berlaku,” ujar Pengacara Publik LKBH FH UMMAT, Yan Mangandar Putra, Jumat (19/4).
Dijelaskan, kasus pertama terjadi di Kecamatan Sikur dengan terdakwa inisial HSN yang sebelumnya dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan tipu muslihat dan serangkaian kebohongan membujuk anak korban yang juga merupakan santriwatinya untuk melakukan persetubuhan dengannya. Putusan itu dibacakan Majelis Pengadilan Negeri Selong dengan Hakim Ketua Syamsuddin Munawir dalam persidangan terbuka pada 27 Februari 2024 lalu.
Sesuai Pasal 81 ayat (2) Jo. Pasal 81 ayat (3) UU RI Nomor 17/2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU RI Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP, HSN dihukum 12 tahun penjara, denda Rp3 miliar dengan subsider 6 bulan kurungan, serta dibebankan membayar restitusi kepada anak korban senilai Rp39.295.000 atau kurungan 3 bulan. Pidana penjara tersebut lebih ringan dari tuntutan Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Lombok Timur yaitu 19 tahun.
“Atas putusan tersebut, terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sama-sama mengajukan banding, kemudian diputus oleh Majelis Pengadilan Tinggi NTB pada 27 Maret 2024 pokoknya menolak alasan keberatan terdakwa dan memperkuat putusan tingkat pertama. Terdakwa HSN tidak puas, melalui kuasanya melakukan upaya hukum kasasi yang telah dinyatakan pada 4 April 2024, sama dengan JPU,” jelasnya.
Pada kasus kedua, terdakwa inisial SH pemilik ponpes di Kecamatan Pringgabaya pada 3 April 2024 lalu juga dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana memaksa sekaligus membujuk anak korban yang merupakan santriwati di pondoknya melakukan perbuatan cabul. “Melanggar pasal 82 ayat (1) dan (2) Jo. Pasal 76E UU RI Nomor 17/2016 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak lalu dihukum penjara selama 6 tahun 6 bulan dan denda Rp1 miliar dengan subsider pidana kurungan 3 bulan, dengan menyatakan banding pada 5 April 2024,” beber Yan.
Dijelaskan, sampai saat ini sudah ada empat kasus yang telah diputus pengadilan dengan vonis pidana penjara terendah 5 tahun sampai tertinggi 17 tahun. Jumlah perkara itu dari total 9 kasus kekerasan seksual yang tercatat terjadi di lingkup ponpes di NTB.
Kasus-kasus yang menjadikan anak-anak di bawah umur sebagai korban itu terus diadvokasi sejak awal 2023 oleh lebih dari 20 organisasi masyarakat sipil di NTB, guna memastikan seluruh korban kekerasan seksual mendapatkan keadilan dalam penanganan, perlindungan dan pemulihannya sebagaimana amanat UU Perlindungan Anak dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. “Bukan hal sepele bagi korban ketika harkat dan martabatnya sebagai perempuan dilecehkan secara seksual, akan mengalami trauma dan dapat berpengaruh buruk terhadap kehidupannya ke depan,” ucapnya.
Selain memberikan efek jera kepada pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya, proses hukum yang adil juga menjadi pembelajaran bagi masyarakat terutama pada lingkup ponpes agar jangan sampai ada oknum yang memanfaatkan kondisi rentan seperti kepolosan para santri yang masih usia anak. (dpi)