Lombok Barat (Inside Lombok) – Rakyah, warga Dusun Nyiur Gading, Desa Montong Are, Kediri di usia 84 tahun serasa menelan pil pahit setelah mendapati dirinya dilaporkan anak sulungnya sendiri ke polisi. Pelaporan itu terkait pengrusakan lahan yang disebut telah dilakukan Rakyah bersama anaknya yang lain di lahan warisan yang saat ini dikuasai si anak sulung.
Anak sulung Rakyah, Saerozi pun angkat bicara terkait tindakannya melaporkan ibu dan saudara-saudaranya ke polisi. Ia mengaku awalnya ingin memberi efek jera dan meminta pertanggungjawaban saudara-saudaranya yang dinilai telah melakukan pengrusakan atas lahan yang dimaksud, dan tak ada niat melaporkan sang ibu.
Kendati, lantaran sang ibu dinilainya ikut pasang badan dan terus membela perlakuan saudaranya yang dianggap telah merugikan dirinya dengan merusak bibit padi dan lahan miliknya, akhirnya Saerozi pun memasukkan Rakyah menjadi salah satu terlapor dalam kasus tersebut.
“Tidak ada niat hajat saya melaporkan orang tua (Rakyah, Red), tapi yang saya laporkan ini mereka-mereka (saudara kandungnya, Red) yang zalim, yang empat ini,” tegas Saerozi saat ditemui di kediamannya didampingi oleh anak-anaknya akhir pekan kemarin.
Ia pun menegaskan tidak akan mencabut laporkan kepolisian atas nama saudara-saudaranya. Hal itu dinilainya untuk memberi efek jera, hingga ada kesepakatan hitam di atas putih terkait ganti rugi yang kerugian yang dialaminya. “Masalah itu saya akan tuntaskan (laporan akan terus dilanjutkan) sampai selesai bayar kerugian, dan pengrusakan ini harus bisa dipertanggungjawabkan oleh orang yang berbuat, yang empat ini (saudara Saerozi, Red),” imbuhnya.
Namun, terkait laporan atas nama sang ibu, diakuinya akan segera dicabut dalam waktu dekat karena ia mengaku khilaf telah turut memasukkan nama Rakyah dalam laporan kepolisian itu. “Karena kita sebagai manusia kan tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan. Saat ini saya akan minta maaf, saya akan cabut laporan atas nama ibu saya, ibu Rakyah,” ungkapnya.
Saerozi menuturkan awal mula permasalahan itu muncul lantaran keempat saudaranya yang dilaporkan tersebut mempermasalahkan lahan waris yang ditinggalkan oleh mendiang ayah mereka. Kendati, ia mengaku telah membeli lahan itu jauh sebelumnya. “Saya beli tanah itu dari bapak saya sekitar tahun 1991, yang 28 are itu. Saya bayar pakai uang Rp5 juta, ditambah satu buah sepeda motor dan tanah,” tuturnya.
Atas dasar itulah ia mengaku berani mensertifikatkan lahan tersebut sekitar 2008 lalu. Selama itu disebutnya justru tak pernah ada persoalan antara ia dengan sang ibu beserta saudara-saudaranya yang lain terkait lahan tersebut. Namun dirinya heran, entah kenapa tiba-tiba beberapa bulan lalu beberapa saudaranya ingin meminta bagian dari tanah yang sudah dibelinya dari sang ayah tersebut.
“Tapi orang-orang ini (empat saudaranya), itu bilang dibayarnya terlalu murah. Mereka orang empat itu mau merebut tanah itu,” imbuhnya. Selain itu, dirinya menyebut bahwa keempat saudaranya juga melakukan pengukuran lahan itu secara diam-diam tanpa sepengetahuannya, sehingga membuatnya semakin tersulut emosi.
Saerozi juga mengakui, sudah ada beberapa kali mediasi yang dilakukan oleh keluarga yang juga difasilitasi oleh pihak dusun hingga desa. Namun tak kunjung ada titik temu untuk penyelesaiannya. Terlebih disebutnya, sang ibu memberikan keterangan yang berubah-ubah ketika mediasi.
Karena hal itu, pihak Saerozi tegas untuk melapor ke polisi setelah keempat saudaranya diduga telah melakukan pengrusakan bibit padi dan lahan lain miliknya. Karena itu, laporan yang dibuatnya bukan terkait tanah warisan, melainkan pengrusakan yang membuat dirinya merugi hingga puluhan juta.
“Bibit padi itu dirusak, sembilan pohon kelapa, terus pohon rambutan. Lain yang dipermasalahkan, (lahan) lain yang dirusak, saya rugi sekitar Rp20 juta,” bebernya. Saat ini, Saerozi pun menyatakan hanya akan mencabut laporan atas nama sang ibu, sedangkan laporan atas nama keempat saudaranya akan tetap dilanjutkan sampai dirinya menerima ganti rugi. (yud)