Mataram (Inside Lombok) – Perilaku self harm atau melukai diri sendiri dengan sengaja belakangan marak dilakukan remaja di Kota Mataram. Kondisi ini pun dinilai menjadi tanda banyak anak-anak, terutama remaja, saat ini kesulitan beradaptasi dengan persoalan yang terjadi di sekitar mereka, sehingga melampiaskan perasaan dengan menyakiti diri sendiri seperti tindakan menyayat-nyayat lengan dan lainnya. Hal ini pun diakui menjadi hal yang mengkhawatirkan.
Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram beberapa bulan ini telah banyak menerima laporan anak yang melakukan self harm dengan menyayat lengan. Laporan-laporan itu pun telah dicek secara langsung bersama Dewan Anak Kota Mataram.
“Kami menemukan belasan anak yang melakukan hal tersebut (self harm, Red). Anak-anak remaja banyak memiliki ketidakstabilan emosi, tidak mampu mengelola emosi dan mengelola stres sehingga melakukan tindakan-tindakan menyakiti diri sendiri,” ujar Ketua LPA Kota Mataram, Joko Jumadi, Jumat (17/5).
Berdasarkan catatan pihaknya, kebanyakan remaja yang melakukan self harm di Kota Mataram ada dalam rentang usia di bawah umur atau usia sekolah, yaitu 12-17 tahun. Menurutnya fenomena self harm ini memang marak di daerah lain, sehingga ada kemungkinan peniruan oleh remaja-remaja Kota Mataram, lantaran kebingungan dan kesulitan menyalurkan emosinya.
Pihaknya pun menyayangkan jika hal tersebut banyak dilakukan, sehingga perlu adanya antisipasi dilakukan untuk pencegahan agar tren self harm tersebut tidak semakin menjadi-jadi. “Yang harus dilakukan adalah bagaimana pemerintah memberi perhatian khusus terhadap kesehatan mental, bukan hanya kesehatan fisik saja. Kita masih memfokuskan kebijakan di bidang kesehatan pada masalah kesehatan fisik sedangkan kesehatan mental masyarakat khususnya anak anak masih terabaikan,” ungkapnya.
Menurutnya, masalah kesehatan mental harus menjadi perhatian khususnya untuk anak-anak yang belum bisa mengelola emosi mereka dengan baik. Karena melihat sekarang ini banyak anak-anak memilih menyakiti dirinya sendiri daripada menceritakan kondisi mereka. “Ini pasti jadi kekhawatiran. Khawatir semakin banyak anak melakukan nge-barcode (self harm, Red) itu. Sekarang saja sudah banyak laporannya,” ucapnya.
Selain itu, keberadaan layanan konseling dan psikologi yang dapat diakses oleh masyarakat sangat terbatas. Apalagi kalaupun ada biayanya relatif mahal dan tidak terjangkau oleh masyarakat apalagi layanan psikologi tidak terakomodir BPJS Kesehatan.
“Pemerintah harus menyediakan lembaga-lembaga layanan kesehatan mental, memperkuat peran guru khususnya guru BK untuk mendampingi anak-anak disekolah. Memperkuat juga fungsi pengasuhan orang tua,” imbuhnya. (dpi)