Lombok Timur (Inside Lombok) – Berbagai macam tradisi dan aktivitas dilakukan masyarakat dalam menyambut dan mengisi malam Lailatul Qadar. Seperti tradisi “Maleman” yang dilakukan masyarakat di Lombok Timur, yakni dengan menancapkan lampu-lampu tradisional di setiap sudut pekarangan, bahkan juga di makam keluarga.
Masyarakat Sasak dalam menyemarakkan dan menyambut malam Lailatul Qadar biasanya diisi dengan berbagai macam kebaikan seperti Nuzulul Quran dan berbagai ibadah lainnya, tak lupa pula tradisi yang masih dipegang erat sampai sekarang yakni “maleman”.
Kegiatan itu untuk menyambut malam Lailatul Qadar, yakni malam yang disebutkan lebih baik daripada seribu bulan. Segala keistimewaannya tercantum secara detail pada Surah Al-Qadr. Malam Lailatul Qadar hanya ada dalam satu malam dalam satu tahun, yaitu pada 10 malam terakhir bulan suci Ramadan dan biasanya terletak pada tanggal-tanggal ganjil seperti 21,23,25, dan 29.
Tradisi Maleman diisi dengan memasang lampu tradisional atau disebut dila jojor/jojon yang terbuat dari biji nyamplung yang dikeringkan hingga mengeluarkan minyak dan dicampur dengan kapas, lali ditempelkan pada irisan bambu hingga berbentuk seperti sate.
“Biasanya dila jojor ini kita pasang di pojokan rumah dan di makam-makam keluarga pada malam ganjil, sehingga semuanya menjadi terang,” ucap Dimi Al-Azumi salah satu warga Dusun Nenggung, Kecamatan Masbagik, Selasa (26/04).
Dila jojor biasanya mulai dipasang ketika selesai berbuka puasa. Anak-anak kemudian membawa dila jojor berkeliling dusun sambil melantunkan salawat. Dila jojor selanjutnya akan dibiarkan menyala semalaman sampai batang lampu terbakar habis.
Tradisi maleman tersebut sudah dilakukan secara turun menurun dari zaman nenek moyang Suku Sasak dan masih dilestarikan sampai saat ini. Akan tetapi sudah tidak banyak lagi daerah-daerah yang masih memegang teguh tradisi tersebut yang dilatari karena susahnya mencari bini nyamplung saat ini. (den)