Mataram (Inside Lombok) – Kontingen menembak dari Kota Mataram sukses memboyong juara utama dengan medali emas terbanyak di cabang olahraga (cabor) menembak pada Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) NTB XI. Dari total 35 medali yang diraih di cabor itu, ada sosok Bima Putra Eka Budi Kusuma Wardana, atlet yang menyumbangkan tiga medali emas untuk cabor tersebut.
Medali yang diraih Bimo, sapaan akrabnya, bukanlah capaian yang mudah diraih. Pemuda yang kini berusia 27 tahun itu telah tekun berlatih menembak sejak 2012 silam, tepatnya saat masih berusia 11 tahun.
Atas dorongan orang tuanya Bimo meyakinkan diri untuk terjun di dunia menembak sampai akhirnya menjadi atlet profesional. “Bukan melalui hobi, tapi ada dorongan (orang tua) dan basic-nya (dasar) memang suka olahraga,” tuturnya.
Kini, ketekunannya berlatih menembak mengantarkan Bimo meraih prestasi yang membanggakan. Tahun ini merupakan Porprov kedua yang diikutinya dengan perolehan medali yang sama.
“Kalau Porprov 2018 medali emas itu ada tiga atau lima medali. Kalau ini jadi ajang kedua,” katanya, Jumat (24/2) sore.
Selain di Porprov, Bimo juga sudah bertanding di tingkat nasional pada PON tahun 2016 Jawa Barat silam dan mendapatkan medali perunggu. “Kalau di Papua dulu saya sudah jadi pelatih NTB,” ujarnya.
Latihan di daerah saat ini dipusatkan di Lapangan Tembak Saraswati dan sudah memiliki klub yang aktif yaitu Perbakin Rinjani. Dalam sehari para atlet melakukan latihan dua kali sehari dari Senin-Jumat. “Saat ini saya fokus untuk melatih,” katanya.
Terbentuknya klub ini lanjut Bimo bisa mengakomodir para calon atlet yang hobi menembak dan memiliki anggaran terbatas. Namun jika secara pribadi, maka akan mengeluarkan biaya yang cukup tinggi untuk memenuhi semua sarana prasarana menembak yang dibutuhkan.
“Kalau pistol saja itu Rp40-50 juta seperti yang saya mainkan. Sepatu khusus untuk menembak itu Rp3,5-5,5 juta. Kacamata itu sampai Rp12 juta untuk menembak. Tapi tanpa itu juga bisa,” katanya.
Diakuinya, cabor menembak biasanya diminati oleh orang-orang tertentu, karena membutuhkan biaya yang cukup tinggi. Bahkan muncul istilah “olahraga orang kaya” untuk cabor tersebut. “Atlet di Mataram sudah ada yang mandiri. Karena dari prestasi yang didapat itu mereka bisa membeli kebutuhan sendiri,” ujar Bimo. (azm)