Mataram (Inside Lombok) – Sejak pemilihan umum legislatif (pileg) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) di 2024 ini banyak muncul tokoh-tokoh perempuan di NTB yang mencalonkan diri sebagai wakil rakyat hingga pimpinan daerah. Keterwakilan perempuan untuk maju di barisan depan kontestasi politik ini pun dinilai menjadi indikator bahwa perempuan mampu memimpin, meski ada tantangan dominasi patriarki yang masih mengakar di NTB.
Mengomentari dinamika tersebut, Guru Besar Hukum Keluarga Islam UIN Mataram, Prof. Atun Wardatun mengungkapkan kepemimpinan perempuan sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi Adam dan Siti Hawa yang dikirim ke bumi untuk menjadi khalifah. “Khalifah itu adalah orang yang mengatur berlangsungnya kehidupan di dunia ini dengan baik. Tidak dibilang Adam saja yang mengatur, (kemudian) Hawa tidak. Jadi dua-duanya khalifah,” katanya saat diwawancara beberapa waktu lalu.
Sebagai salah satu guru besar dari kalangan perempuan, Prof. Atun pun menyatakan sangat mendukung munculnya perempuan di kontestasi pilkada. Kendati, jika ada pemimpin perempuan dalam sejarah yang mungkin pernah gagal menjalankan tugasnya, proses itu dinilai pernah dialami semua manusia, termasuk laki-laki. “Itu bagian dari proses yang juga dilalui oleh semua manusia. Baik laki-laki dan perempuan, ada yang gagal,” katanya.
Menurut Atun, kepemimpinan perempuan juga dilakukan sejak zaman kenabian. Di mana, Sitti Khadijah istri Rasulullah Muhammad SAW menjadi pebisnis internasional dan Siti Aisyah menjadi ahli hadits. Dua tokoh perempuan itu memiliki kemampuan untuk memimpin.
“Apalagi sekarang itu untuk mengenyam pendidikan sudah sejalan dan meningkat. Terlebih lagi secara undang-undang dan konstitusi negara tidak ada aturan harus laki-laki. Jadi yang buat kita menolak itu apa?” tanyanya.
Ketua LP2M UIN Mataram ini pun mengatakan untuk memilih pemimpin tidak hanya dilihat dari jenis kelaminnya melainkan dari kemampuannya dalam mengatur atau pemimpin. Diakuinya, selama ini kuota perempuan yang disiapkan banyak yang tidak terpenuhi. Untuk bisa memenuhi kuota yang disiapkan, maka perempuan harus bisa meningkatkan kualitas maupun kuantitasnya.
“Perempuan sejak lama dicekoki bahwa kamu tidak bisa. Bahwa pemimpin itu harus laki-laki. Ini cara pandang kita dibesarkan dulu dan sayangnya ketika kita tidak memiliki cukup pengetahuan, kita tidak bisa menganalisis doktrin ini, dan sampai sekarang masih tersisa di benak saya ini bahwa memang berat ketika perempuan jadi pemimpin,” katanya.
Ditambahkan, idealnya kepemimpinan perempuan adalah keharusan sejarah dan tuntutan kehidupan. Sedangkan, laki-laki sudah dari kecil diberikan pemikiran bahwa akan jadi pemimpin. Hal ini menjadikan kaum laki-laki lebih percaya diri untuk menjadi seorang pemimpin. “Kepercayaan dirinya lebih tinggi. Belum lagi kita berbicara pendidikan kan. Kalau dulu sangat jomplang antara laki-laki dan perempuan,” katanya.
Sebagai salah satu tokoh perempuan di NTB, Atun pun sangat mendukung perempuan yang berani untuk maju menjadi pemimpin. Karena untuk memenuhi hajat hidup perempuan perlu ada kerjasama antara laki-laki dan perempuan.
“Bukan karena saya mendukung perempuan itu, laki-laki disingkirkan ya tidak. Tapi laki-laki dan perempuan itu harus menjadi tim yang solid dan lebih lengkap, cara pandang dan strategi mencapai tujuan dan kemaslahatan bersama akan lebih saling mengisi,” ucapnya. (azm)