Mataram (Inside Lombok) – Ombudsman Perwakilan Nusa Tenggara Barat menemukan penyimpangan prosedur yang dilakukan Pemerintah Provinsi NTB dalam mengirim mahasiswa ke Chodang Univesity, Korea Selatan.
“Kami melihat proses pemberangkatan para calon mahasiswa ke Universitas Chodang yang tanpa melalui perjanjian kerja sama dan tanpa dilengkapi Standar Operasional Prosedur (SOP) yang clear, sehingga terjadi perbuatan maladministrasi berupa penyimpangan prosedur,” kata Kepala Perwakilan Ombudsman NTB, Adhar Hakim di Mataram, Senin (09/09/2019).
Ia menilai, keputusan pemerintah yang tidak didasari asas kehati-hatian sesuai yang dipersyaratakan dalam Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) itu, sehingga berpotensi terjadinya perbuatan maladministrasi berupa penyimpangan prosedur tersebut.
“Karena pelaksanaan program ini terkesan sangat terburu-buru dapat menyebabkan permasalahan baik secara administrasi pemerintahan maupun persoalan-persoalan teknis lainnya, bahkan persoalan hukum terkait perlindungan WNI di luar negeri,” ujarnya.
Adhar menjelaskan, dalam investigasi Ombudsman yang dilakukan dari bulan Agustus 2019 hingga minggu pertama September 2019, pelaksanaan pengiriman peserta program pendidikan lanjutan tenaga kesehatan dari jenjang D3 ke S1 ke Universitas Chodang diikuti 18 calon mahasiswa. Pengiriman calon mahasiswa ini direncanakan untuk mengikuti pendidikan medical management yang sebenarnya proses perkuliahannya baru akan dimulai pada September 2019.
Sementara, pengiriman calon mahasiswa ke Universitas Chodang, baru berdasarkan Letter of Intent (LoI) antara Gubernur NTB dan President Univesrsity of Chodang yang ditandatangani di Mataram, 29 Januari 2019. Namun, faktanya meskipun belum terbit perjanjian kerja sama, 18 calon mahasiswa ini telah diberangkatkan ke Korsel pada Maret 2019. Padahal dalam skema jadwal kuliah, perkuliahan baru akan dimulai September 2019.
“Pemberangkatan lebih awal bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada para calon mahasiswa untuk memperdalam bahasa Korea. Selisih waktu antara Maret hingga September inilah yang kemudian memunculkan persoalan awal, yakni keresahan dan persoalan tentang kepastian jaminan keberlangsungan proses persiapan kuliah. Apalagi beberapa calon mahasiswa mulai merasakan adanya perbedaan antara fakta dan janji dalam proses persiapan kuliah hingga perkuliahan,” jelas Adhar.
Menurutnya, sesuai ketentuan bentuk-bentuk hubungan kerja sama antara pemerintah daerah dengan pemerintah luar negeri ataupun lembaga luar negeri harus tunduk pada ketentuan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, serta UU Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Dalam undang-undang tersebut mewajibkan perjanjian kerja sama dengan lembaga luar negeri harus mendapatkan persetujuan DPRD yang diikuti adanya naskah kerja sama dan diketahui pemerintah pusat melalui kementerian terkait yang akan memverifikasi dan memberikan pertimbangan tertulis kepada pemerintah daerah hingga pada akhirnya menyetujui menjadi sebuah materi kerjasama.
“Sebenarnya Pemprov telah memulai proses sesuai mekanisme yang diatur peraturan dan perundang-undangan. Setelah penandatanganan LoI, Gubernur NTB pada 19 Februari 2019 mengirimkan permohonan persetujuan rencana kerja sama ke DPRD NTB. Kemudian pada 22 April 2019 Sekda NTB, mengirimkan permohonan persetujuan kerjas ama ke Mendagri cq Kepala Pusat Fasilitas Kerja sama Setjen Kementerian Dalam Negeri,” ucapnya.
Dia mengatakan pPermohonan ini dilegkapi dengan lembar rencana kerja sama. Namun, sampai 18 calon mahasiswa diberangkatkan Maret 2019, proses perolehan persetujuan pemerintah terhadap permohonan kerja sama belum selesai, yang berarti belum terbitnya perjanjian kerja sama.
Dalam lembar rencana kerja sama itu, kata Adhar, disebutkan menyelenggarakan program kerja sama pendidikan lanjutan tenaga kesehatan dari jenjang D3 ke S1 di Universitas Chodang. Sumber pembiayaan dari CSR, APBD, biaya mandiri dan sumber-sumber pembiayaan sah lainnya.
Dalam lembar rencana kerja sama juga disebutkan estimasi pembiayaan pelaksanaan program Rp85 juta per orang yang rincian peruntukannya untuk pembuatan visa, kursus bahasa Korea, Tiket pulang dan pergi, asrama, biaya makan dan minum (catering) dan SPP 2 semester.
“Skema program yang akan dilaksanakan dengan program belajar yang didahului proses kursus bahasa Korea (dalam rentang waktu Maret hingga September 2019) sambil mencari kesempatan magang berkerja adalah bentuk pelaksanaan program yang rawan terjadinya persoalan tekhnis dan pelanggaran hukum. Mengingat peraturan tentang kerja part time hanya boleh dilakukan mahasiswa luar negeri di Korea Selatan jika telah melalui masa tinggal enam bulan,” jelasnya.
Kemudian, skema pembiayaan campuran antara CSR dan sumber mandiri yang tidak disusun secara cermat dan sesuai nomenklatur pembiayaan yang baik serta tidak berdasarkan ukuran kebutuhan sesuai agenda program pendidikan dapat berakibat permasalahan keberlanjutan pembiayaan.
Karena itu, Ombudsman mengimbau Pemprov NTB lebih berhati-hati dan pruden dalam menyelenggarakan program beasiswa ke luar negeri sesuai ketentuan kerja sama daerah dan kerjasama dengan pemerintahan luar negeri maupun lembaga luar negeri seperti yang diatur dalam berbagai peraturan dan perundang-undangan, khususnya UU Nomor 23 Tahun 2014 (serta PP Nomor 28 Tahun 2018).
“Partisipasi publik dalam pelaksanaan program beasiswa bagi masyarakat harus didasari SOP agar memenuhi unsur-unsur partisipatif, transparan dan akuntabel. Lebih pruden dan berhati-hati dalam mengelola dana CSR agar tetap sesuai dengan mekanisme pengelolaan seperti yang diatur dalam peraturan dan perundang-undangan yang berlaku,” katanya. (Ant)