Mataram (Inside Lombok) – Asosiasi perusahaan rokok kecil yang tergabung dalam Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi) mendesak pemerintah melakukan percepatan penggabungan batasan produksi sigaret kretek mesin dan sigaret putih mesin.
“Kami masih berpijak pada usulan percepatan penggabungan (batasan produksi) sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM),” kata Ketua Harian Formasi Heri Susanto, dalam penjelasannya di Jakarta, Minggu.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan tarif cukai rokok pada 2020 akan naik rata-rata sebesar 23 persen. Adapun harga jual eceran akan naik hingga 35 persen. Kebijakan ini akan mulai berlaku Januari 2020. Seluruh kenaikan tersebut akan dituangkan dalam revisi PMK 156 yang saat ini masih digodok pemerintah.
Menurut dia, saat ini, struktur tarif cukai hasil tembakau, khususnya untuk SKM dan SPM, masih memiliki celah yang dapat dimanfaatkan oleh beberapa pabrikan besar asing untuk melakukan penghindaran pajak.
Dia menyebut, siasat yang digunakan adalah membatasi volume produksi mereka agar tetap di bawah golongan satu, yakni tiga miliar batang, sehingga terhindar dari kewajiban membayar tarif cukai tertinggi.
Padahal, tarif cukai golongan dua SPM dan SKM lebih murah sekitar 50-60 persen ketimbang golongan satu.
Tuntutan Formasi untuk mempercepat penggabungan batas volume produksi SKM dan SPM menjadi tiga miliar batang per tahun itu juga didukung oleh sejumlah ekonom dan akademisi.
Mereka mendorong pemerintah segera melakukan penggabungan agar pabrikan besar yang secara kumulatif produksi telah mencapai tiga miliar, harus membayar tarif cukai tertinggi di masing-masing golongan.
Berdasarkan data Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), penggabungan batasan produksi SKM dan SPM dapat menambah pemasukan negara sebesar Rp1 triliun.
Selanjutnya, Formasi juga meminta agar persentase kenaikan tarif cukai antara golongan satu dan dua harus sama. “Kenaikan dalam batas kewajaran, sesuai pertumbuhan ekonomi dan inflasi,” tegas Heri.
Sementara, di segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT), Formasi meminta adanya penggabungan tarif SKT golongan satu, serta mempertahankan besaran tarif dan batasan produksi pada golongan tiga yakni Rp100 per batang dan di bawah 500 juta batang per tahun.
Heri mengatakan, keempat tuntutan tersebut demi kepentingan semua pihak. “Harapan kami, ekonomi terus tumbuh, khususnya penerimaan negara di bidang industri hasil tembakau meningkat, tanpa mengorbankan pabrikan dan penyerapan tenaga kerja tetap berlangsung,” katanya.
Selain menuntut empat hal tersebut, Formasi juga mengapresiasi pemerintah yang telah mampu menurunkan peredaran rokok ilegal. “Di sisi lain kami juga meminta perhatian pemerintah atas maraknya penjualan rokok murah (subsidi) dari grup pabrikan besar yang semakin mengabaikan etika dalam berusaha,” tegas Heri. (Ant)