Mataram (Inside Lombok) – Pemerintah Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, menyatakan tidak dapat memfasilitasi 30 kepala keluarga (KK) warga Pondok Perasi yang telah dieksekusi, untuk membangun tenda atau sejenisnya di atas bekas bangunan rumah mereka.
“Dalam hal ini, pemerintah tidak bisa masuk ke ranah hukum. Kalau ada masyarakat yang minta difasilitasi untuk dibangunkan tenda atau hunian sementara di lokasi eksekusi, itu tidak mungkin dilakukan,” kata Asisten Bidang Pemerintahan dan Administrasi Umum Setda Kota Mataram Lalu Martawang di Mataram, Kamis.
Sebanyak 30 KK warga Pondok Perasi ini merupakan bagian dari 51 KK warga Pondok Perasi yang terdampak eksekusi lahan. Namun 51 KK tersebut sudah mau mengikuti skenario yang disiapkan pemerintah dengan menempati tenda darurat di lokasi pengungsian di Bintaro sebelum kegiatan eksekusi dilakukan pada Senin (6/1/2020).
Sementara 30 KK itu, tetap bertahan di rumah masing-masing sampai pada hari pelaksanaan eksekusi, dan sampai 9 Januari 2019 mereka belum mau bergabung untuk tinggal di lokasi pengungsian yang disiapkan pemerintah di Bintaro, karena memiliki keyakinan masih punya peluang menang secara hukum.
“Memang ada permintaan dari perwakilan 30 KK untuk dibuatkan tenda di pinggir jalan juga, namun itu tidak bisa juga kami lakukan sebab tidak sesuai ketentuan. Kalau kami buatkan tenda sama artinya mengajak masyarakat melakukan hal di luar keharusan,” katanya.
Martawang mengatakan, lahan seluas sekitar 80 are yang ditempati pulukan KK di Pondok Perasi selama puluhan tahun, sudah diputuskan secara hukum atau inkrah bahwa itu menjadi milik dari Ratna Sari Dewi.
“Jadi, pemerintah kota sudah tidak bisa berbuat apapun terkait masalah hukum tersebut,” katanya.
Terkait dengan itu, pihkanya menyarankan agar 30 KK yang saat ini masih menempati pinggir jalan dengan tenda seadanya, bisa ikut serta tinggal di lokasi pengungsian bersama warga lainnya.
“Kalaupun, mereka tidak ingin tinggal bersama dengan warga yang sudah pindah terlebih dahulu, itu akan menjadi bagian yang akan kita pikirkan dalam membangun tenda dan fasilitas lainnya,” katanya.
Oleh kerena itu, saat ini pihaknya telah meminta camat dan lurah setempat untuk melakukan komunikasi lebih efektif dengan 30 KK tersebut agar mau tinggal di tenda pengungsian yang lahannya telah dipastikan tidak ada persoalan hukum.
Dengan demikian, pemerintah kota bisa melakukan penanganan secara terpadu kepada para pengungsi selama berada di tempat relokasi guna mengurangi beban psikologis dan ekonomi masyarakat, sampai warga bisa menempati huntara dan rusunawa nelayan yang telah disiapkan sebagai solusi jangka panjang.
“Tapi, kalau mereka tetap ngotot tinggal di bekas lahan eksekusi, kami tidak bisa masuk, karena kami bisa dituntut oleh pihak-pihak yang bersengketa,” katanya. (Ant)