Lombok Timur (Inside Lombok) – Isu wacana penundaan Pemilu 2024 mulai mencuat ketika salah seorang menteri dan Tiga Ketum Parpol mengusulkan hal tersebut dengan beralasan Pandemi Covid-19 memberikan dampak yang signifikan bagi perekonomian bangsa dan para pelaku usaha.
Terkait hal itu, salah seorang Advokat Peradi, Basri Mulyani menegaskan bahwa permasalahan pemilu merupakan masalah konstitusional dan bukan kepentingan elite politik belaka. Apabila MPR RI mengamandemen UUD 1945 untuk merubah pasal dan ayat demi penundaan Pemilu 2024 tanpa persetujuan rakyat, ia mengkhawatirkan pergolakan politik dapat terjadi.
“Melakukan amandemen konstitusi itu tidak boleh memaksa tapi harus berdasarkan kepada kesepakatan rakyat. Karena konstitusi itu adalah masalah fundamental, norma dasar dalam bernegara kita yang telah disepakati bersama,” ucap Basri Mulyani yang juga menjabat sebagai Dekan FH UGR, Selasa (12/04).
Skema Penundaan Pemilu 2024 hanya dapat dilakukan dengan 2 cara yakni formal dan informal. Skema formal dapat ditempuh dengan mengamandemen UUD 1945 yang syarat-syaratnya jelas dalam pasal 37 UUD 1945. Sedangkan, skema informal bisa dilakukan dengan Dekrit presiden.
“Dekrit untuk menunda pemilu dengan kondisi negara ini, karena DEKRIT cara paling revolusioner dalam praktek ketatanegaraan. Namun tentu dimulai dengan Hukum Tata Negara Darurat,” jelasnya.
Adapun penundaan Pemilu dapat dilakukan karena adanya peristiwa yang mengancam negara seperti pemberontakan, kerusuhan, dan bencana alam. Namun alasan penundaan karena Pandemi, Basri menegaskan itu bukan syarat dalam penundaan Pemilu karena bukan faktor bencana alam.
“Pandemi tidak masuk pada alasan bencana alam tetapi non alam,” tegasnya.
Basri menegaskan penundaan pemilu merupakan pembangkangan konstitusi yang melanggar Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Jika persoalannya itu Pandemi dan beban biaya pemilu yang tinggi, dapat diatasi dengan penyederhanaan pemilu. (den)