Mataram (Inside Lombok) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bekerjasama dengan Penyidik Pegawai Negeri Silip (PPNS) Dinas LHK (Dislhk) Nusa Tenggara Barat (NTB) berhasil membongkar praktik pembalakan liar di Labuhan Lombok, Lombok Timur beberapa waktu lalu. Dari kasus pembalakan liar tersebut, ditemukan 177 meter kubik kayu olahan yang senilai dengan uang tunai Rp3,5 miliar.
Kapala Dislhk NTB, Madani Mukarom, menerangkan bahwa kayu-kayu ilegal tersebut berasal dari kawasan Konservasi Suaka Margasatwa Buton Utara, Kabupaten Buton Utara, Sulawesi Tenggara. Untuk melancarkan aksinya, pelaku menyiapkan satu set dokumen palsu berupa Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan Kayu Olahan (SKSHHKO).
“Kami selalu melakukan penjagaan berlapis. Jadi mungkin saja pelaku bisa lolos di satu penjagaan, tapi pasti akan kami tangkap di pos-pos yang lain,” ujar Madani dalam Gelar Perkara kasus tersebut, Jumat (15/02/2019).
Penyidik KLHK, Pansos Sugiharto, menerangkan bahwa 177 meter kubik kayu yang diamankan tersebut tidak berada dalam izin pemanfaatan kayu yang dimiliki oleh pelaku. Sehingga tim penyidik menduga kuat bahwa kayu tersebut telah ditebang tanpa izin. Setelah dilakukan pelacakan, tim penyidik menemukan bukti bahwa kayu tersebut berasal dari kasta tertinggi yang dilarang pemanfaatannya dari hutan di wilayah Buton Utara.
Untuk memeriksa keabsahan surat izin penebangan sendiri, KLHK menggunakan Sistem Informasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (SIPHPL), yang hanya bisa diakses oleh Dislhk Provinsi, Balai Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP) KLK, dan Direktorak Jendral LHK. Melalui SIPHPL tersebut akan diperiksa kesesuaian data dalam dokumen cetak dengan data yang ada dalam SIPHPL.
“Dokumennya itu palsu. Dokumennya memang masuk ke dalam sistem, tapi hanya untuk 21 kubik. Di fisik dokumen yang dibawa surat itu tertera untuk 213 kubik, berarti ini direkayasa. Sedangkan jumlah kayunya sendiri hanya 177 meter kubik. Sudah ada banyak sekali kejanggalan di situ,” ujar pansos.
Menanggapi hal tersebut, Penyidik Dislhk NTB, Astan wirya, menerangkan bahwa telah ditetapkan tiga (3) orang tersangka dengan inisial AN, MZ, dan DE. Dari pengembangan kasus, akan diperiksa lagi lima (5) orang tersangka, yaitu AH selaku nakhoda kapal, MD selaku perantara pemuatan kayu, serta HS, LH, AU selaku pemilik indsutri yang melakukan pembalakan.
“Kita sudah menyampaikan SPDP (Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan) untuk delapan orang tersangka. Tiga diantaranya sudah ditahan, lima belum. Setelah selesai penyelidikan baru kita bisa tahu siapa yang berperan jadi pemodal utama di antara delapan orang itu,” ujar Astan.
Kerugian yang diterima negara dari aksi pembalakan liar tersebut diperkirakan paling sedikit sebesar Rp3,5 miliar, dengan perhitungan PNBP yang tidak dibayarkan sebesar Rp270 juta dengan dengan 10 kali lipat, serta nilai tegakan kayu yang dicuri sebesar Rp800 juta. Selain itu, ada juga kerusakan ekosistem yang tidak ternilai harganya.
Tersangka kasus pembalakan liar tersebut akan dijerat dengan Pasal 83 ayat (1) huruf b Jo. Pasal 12 huruf e dan/atau Pasal 88 ayat (1) huruf b Jo. Pasal 14 furuf a dan b dan/atau Pasal 94 ayat (1) huruf d Jo. Pasal 19 huruf f Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dan/atau Pasal 78 ayat (5) Jo. Pasal 50 ayat (3) huruf e Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling singkat delapan (8) tahun dan paling lama 15 tahun serta dengan paling sedikit Rp10 miliar dan paling banyak Rp100 miliar.
Sebagai barang bukti, saat ini tim penyidik telah mengamankan 177 meter kubik kayu yang disimpan di Gudang Penyimpanan Barang Bukti KPH NTB NTB Timur, sedangkan satu unit kapal layar motor ditambatkan di Pelabuhan Kayangan dibawah pengawasan polisi dan pengurus pelabuhan.