Mataram (Inside Lombok) – Pemerintah akan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) mulai 1 April mendatang menjadi 11 persen dari sebelumnya 10 persen. Keputusan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun keputusan tersebut dinilai belum tepat untuk saat ini.
Pengamat Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Mataram (Unram), Abdul Aziz Bagis menyebut rencana kenaikan PPN pada saat ini kurang tepat. Pasalnya, adanya PPN saja sudah cukup memberatkan di tengah pergerakan ekonomi saat ini. Sehingga kenaikan nilai PPN diproyeksikan lebih tepat jika situasi ekonomi benar-benar telah stabil.
Diterangkan, meskipun kondisinya sudah pulih, tetapi belum diketahui apakah bisa terus stabil atau tidak. Artinya pemulihan ekonomi tersebut belum bisa dipastikan bertahan lama atau tidak.
“Jadi mestinya pemerintah jangan baru ada indikasi pulih langsung menerapkan kebijakan baru, jadi menurut saya nanti saja mungkin setelah lebaran,” kata Abdul, Rabu (23/2).
Jika penetapan kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen mulai diterapkan pada April mendatang, hal tersebut bisa saja memicu inflasi pada sejumlah barang. Disamping itu akan menjadi beban transaksi di level bawah, sedangkan level di atas yang berpenghasilan tinggi tidak terlalu berpengaruh dengan PPN 10 persen.
“Kalau di level bawah ini kan tidak semua memahami, jadi perlu edukasi dan waktu yang pas. Menurut saya jangan sekarang lah pemerintah itu harusnya bijaksana, toh dari hasil pajak ada peningkatan,” tuturnya.
Dikatakan, untuk sementara ini pajak negara harus lebih mengandalkan sumber daya alam dalam keadaan ekonomi masyarakat yang masih lemah dan transaksi masih terbatas. Mengingat, kondisi masyarakat masih terdampak dari pandemi Covid-19. Tetapi jika kondisi sudah normal baru bisa menetapkan kebijakan tersebut.
“Tetap akan berpengaruh meski hanya naik 1 persen. Paling kita khawatirkan bukan soal naik 1 persen tapi soal jangkauannya,” ujarnya. Dikhawatirkan, jika kenaikan PPN tetap dipaksakan maka sejumlah barang konsumsi masyarakat berpotensi mengalami kenaikan.
Hal ini diakuinya membutuhkan kebijakan dan pertimbangan matang dari pemerintah. Mengingat sasaran aturan tersebut memang menambah penghasilan negara dari pajak, termasuk PPN. “Area lainnya juga ikut naik, ikut meluas. Saya dengar nanti jangan-jangan beras juga akan dikenakan PPN, padahal dulu tidak kena,” tandasnya. (dpi)