Lombok Barat (Inside Lombok) – Roah Adat menjadi tradisi turun temurun sejak ratusan tahun lalu, yang dilestarikan oleh masyarakat di kampung wisata budaya Dusun Batu Kumbung, Desa Batu Kumbung, Lingsar. Tradisi ini sebagai bentuk ucapan rasa syukur dan memohon keberkahan dari hasil panen yang diberikan Tuhan yang Maha Esa.
Ritual yang dianggap sakral dan istimewa bagi masyarakat Batu Kumbung ini dilaksanakan di petilasan Pancor Denek; sebuah tempat yang dipercaya merupakan peninggalan dari salah satu penyebar agama Islam terdahulu di Desa Batu Kumbung, yang bernama Patinglaga Denek Prawangsa atau yang dikenal juga dengan nama Sayyid Abdullah Zain Al-Hamidi.
Di tempat ini juga masih bisa dijumpai sejumlah peninggalan beliau semasa berdakwah dahulu. Antara lain berupa Al-Quran yang ditulis tangan, naskah khutbah jumat yang tertulis pada lembaran kulit unta, sejumlah tulisan kuno yang tertulis di daun lontar (takepan), hingga beberapa lembar kain gendongan (lempot) berhiaskan koin-koin kuno.
Kepala Desa (Kades) Batu Kumbung H. Wirya Adi Saputra menuturkan ritual adat ini masih mempunyai hubungan dengan kegiatan Pujawali yang digelar di Taman Pura Lingsar beberapa hari yang lalu.
“Kalau masyarakat di Lingsar melaksanakan kegiatan Pujawali, seminggu setelahnya pasti masyarakat kami melaksanakan kegiatan Roah Adat ini,” tutur Wirya, akhir pekan kemarin. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, lanjutnya, bangunan Kemaliq yang ada di Lingsar dipercaya masyarakat masih mempunyai keterkaitan dengan Sayyid Abdullah Zain Al-Hamidi.
Berbagai rangkaian ritual dalam tradisi Roah Adat di Dusun Batu Kumbung ini dimulai dengan Tunas Paice, yakni berziarah ke Kemaliq yang ada di Lingsar. Lalu dilanjutkan dengan Berejap, yang dalam kegiatan ini masyarakat berbondong-bondong mempersiapkan pusaka dan benda-benda peninggalan untuk dipersiapkan ke petilasan Pancor Denek.
Di samping itu, masyarakat juga membuat dulang pesaji, yaitu berbagai makanan tradisional yang ditempatkan di dalam sebuah wadah (dulang) untuk dibawa ke tempat pusat ritual adat yaitu petilasan Pancor Denek.
Kemudian dilanjutkan dengan tausiah atau pengajian umum yang disampaikan oleh tokoh agama setempat, diikuti dengan zikir dan do’a bersama. Kemudian pembukaan benda peninggalan sang pendakwah.
Setelah itu ada pengambil air doa (kekuluh/kulhu) yang sudah disiapkan di Pancor Denek dengan berbagai wadah, lalu diakhiri dengan begibung atau makan sajian yang ada di dulang pesaji secara bersama-sama.
Sementara itu, Pemerhati pariwisata, Taufan Rahmadi yang juga hadir pada kegiatan tersebut memberikan pujian kepada masyarakat Batu Kumbung yang telah melestarikan tradisi dan peninggalan bersejarah yang sangat berharga ini.
“Salah satu kekuatan pariwisata di suatu daerah itu adalah ketika daerah itu mampu menjaga keaslian budayanya,” pesan Taufan.
Hal senada juga diungkapkan Kepala Dinas Pariwisata (Kadispar) Provinsi NTB, Yusran Hadi yang menyebut adanya peninggalan budaya adat istiadat yang menarik dan tetap dijaga oleh masyarakat, berpotensi menarik minat kunjungan wisatawan karena keunikannya.
“Tentu saja event yang terus diselenggarakan setiap tahun seperti ini akan terus berlanjut dan mudah-mudahan bisa semakin ramai,” harap Yusran. Ke depannya ia berharap sebelum acara puncak, penyelenggara bisa menambahkan rangkaian-rangkaian event lainnya sehingga bisa lebih semarak.
“Sehingga bisa lebih besar, menjadi event yang bisa dikembangkan oleh masyarakat desa, kemudian oleh pemerintah kabupaten dan tentunya pemerintah provinsi,” pungkasnya. (yud)