Lombok Timur (Inside Lombok) – Kelompok kesenian cilokak modern atau yang sering disebut kecimol belakangan diterpa gelombang protes dari masyarakat yang meminta mereka dibubarkan. Protes itu salah satunya didasari lantaran banyak pihak yang menilai kesenian yang kerap dijadikan pengiring pawai pengantin itu punya sisi negatif yang belum bisa dihilangkan.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Dewan Kesenian Lombok Timur (Lotim), Ashwan Dailani mengatakan masifnya gerakan protes atas penolakan hingga saran pembubaran kecimol itu seharusnya dikaji lebih dahulu dengan perspektif yang luas. “Selain melihat efek yang ditimbulkan, terlepas dari kisruh pelaku kecimol dengan masyarakat. Karena nantinya tindakan pembubaran dan lain sebagainya pasti akan berdampak kerugian, baik moril maupun materil terhadap kelompok kecimol,” ungkapnya, Selasa (04/06/2024).
Ashwan sendiri mengapresiasi hadirnya kecimol dengan konsep penyajiannya sebagai entitas baru di bidang musik, di mana masyarakat selalu menjadikannya hiburan pengiring pada acara hajatan baik itu perkawinan dan segala macamnya. Namun diakui penciptaan karya seni tradisi haruslah berbasis lokalitas dan memperhatikan kearifan lokal, di mana karya seni itu tercipta karena kebutuhan dan dapat diterima oleh masyarakat sekitar, sehingga menjadi suatu bentuk karya seni yang lahir dan tumbuh dari ide dan gagasan masyarakat itu sendiri.
“Dari beberapa sumber yang saya dengar dan serap adalah genre musik kreasi kecimol bukan tradisi yang lahir di tanah Lombok Timur atau NTB yang sangat religius ini,” jelasnya. Karenanya, Ashwan menduga kisruh yang terjadi saat ini lantaran semakin bertumbuhnya kelompok kecimol justru dibarengi dengan penolakan dari beberapa desa yang bahkan sudah membuat aturan pelarangan dan membuatkan awik-awik untuk penertiban.
Selaku praktisi dan akademisi seni di Lotim, ia sendiri tidak menolak ataupun menyarankan pembubaran kecimol. “Namun di satu sisi kita juga harus mengkaji bentuk dan fungsinya supaya kita tidak menjadi ‘latah’ dalam mendiskreditkan sebuah karya seni itu bernilai buruk,” paparnya.
Menurutnya, penikmat dan pelaku seni tentu mempunyai hati nurani terhadap setiap keberadaan seni itu sendiri. Karenanya, hal-hal yang akan mencederai nama baik daerah dan kehidupan bermasyarakat dalam mengapresiasi karya seni perlu diperbaiki dengan lebih mengedepankan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
“Sekali lagi tidak ada karya seni yang tidak indah. Maka mari kita bijak dalam berkesenian, supaya apa yang menjadi harapan kita kepada masyarakat tempat lahirnya kesenian itu akan diterima dengan baik tanpa protes atau diasingkan,” pungkasnya. (den)