Mataram (Inside Lombok) – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Barat masih melakukan kajian secara komprehensif untuk memutuskan kontrak lahan seluas 65 hektare yang dikelola PT Gili Trawangan Indah di kawasan wisata Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara.
“Rekomendasi itu akan menjadi pertimbangan sebab kita memperhatikan aspirasi dan pendapat untuk mengambil suatu keputusan berdasarkan pertimbangan kajian yang komprehensif,” kata Sekda NTB H Lalu Gita Aryadi di Mataram, Kamis.
Ia menyatakan, akan segera mengkonsolidasikan kembali persoalan lahan yang dikelola PT GTI tersebut kepada Tim Terpadu yang telah dibentuk. Terlebih dalam Tim Terpadu tersebut terdapat Kapolda NTB dan Forkopimda lainnya.
“Kita akan diskusikan bersama Tim Terpadu, apalagi Kapolda ini baru saja berganti sehingga sangat perlu untuk dikonsolidasikan kembali,” katanya.
Sebelumnya, Komisi III DPRD NTB merekomendasikan agar Pemerintah Provinsi NTB memutus kontrak lahan seluas 65 hektare yang dikelola PT GTI di kawasan wisata Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara.
Rekomendasi pemutusan kontrak PT GTI ini didorong saat Komisi III DPRD NTB melakukan rapat dengar pendapat dengan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) NTB Zainul Islam dan Kepala Biro Ekonomi Setda NTB Lalu Wirajaya Kusuma di Kantor DPRD NTB, Senin (6/1).
“Kami di Komisi III sepakat merekomendasikan kepada pimpinan DPRD agar kontrak PT GTI di Gili Trawangan diputus,” kata Ketua Komisi III Bidang Keuangan dan Perbankan DPRD NTB Sambirang Ahmadi.
Menurut politikus PKS ini, pemutusan kontrak PT GTI tersebut, lantaran daerah banyak dirugikan dengan perjanjian tersebut, terutama banyaknya potensi pendapatan yang hilang dari tempat itu. Bahkan, hasil penghitungan Dirjen Kekayaan Negara Wilayah Bali Nusa Tenggara, bahwa pendapatan daerah yang hilang di Gili Trawangan mencapai Rp2,3 triliun lebih.
Sementara pendapatan masyarakat yang mengelola kawasan itu tidak kurang mencapai Rp200 miliar setahun. Artinya potensi pendapatan daerah cukup besar.
“Bayangkan, provinsi selaku pemilik lahan hanya diberikan Rp22,5 juta setahun. Padahal, potensi di sana cukup besar yang seharusnya memberikan dampak kepada daerah juga, pemasukannya ke mana-mana tapi daerah tidak mendapatkannya,” katanya.
Menurut dia, wajar apabila pemutusan kontrak PT GTI dikakukan, karena dalam perjanjian yang dilakukan tahun 1995, PT GTI berjanji akan memberikan kenaikan royalti setiap lima tahun kepada Pemprov NTB.
Namun, kenyataannya daerah hanya diberikan Rp22,5 juta. Sementara, perputaran uang setiap harinya di destinasi andalan NTB itu mencapai Rp2-5 miliar.
“Belum lagi PT GTI ini berkomitmen membangun 150 cotagge di kawasan itu, tapi hingga sekarang tidak pernah terlaksana. Bisa dibilang pendapatan kita di situ bocor, bahkan seperti sering saya katakan jangan-jangan sudah diagunkan izin itu,” kata anggota DPRD NTB dari Daerah Pemilihan (Dapil) V meliputi Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat itu. (Ant)