Mataram (Inside Lombok) – Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat Sitti Rohmi Djalilah menyebutkan selama ini banyak di antara program penurunan kemiskinan di provinsi itu tidak tepat sasaran karena belum valid-nya data penduduk miskin.
“Perlu validasi data dan update sasaran penduduk miskin berdasarkan by name by adress sehingga pelaksanaan dari program-program nasional untuk masyarakat miskin menjadi tepat sasaran dan harus dilaksanakan lebih cepat,” kata Rohmi saat memimpin rapat koordinasi teknis terbatas bersama Penjabat Sekda NTB, Kepala Bappeda dan Penelitian NTB, Dinas Kominfotik dan Kepala BPS NTB beserta jajarannya, di Kantor Gubernur NTB di Mataram, Selasa.
Menurut dia, untuk memperbaiki hal itu validasi data sasaran akan segera dilakukannya secara terintegrasi bersama seluruh instansi terkait, terutama pemerintah desa dan dusun. Karena di situ letak pendataan dan validasi itu dilakukan.
“Proses pemuktahiran data penduduk miskin akan dilakukan melalui metode rembug desa. Dan seluruh rumah tangga miskin akan dipasang label/stiker,” terang Wagub.
Umi Rohmi sapaan Wagub NTB mengungkapkan masih adanya penduduk yang secara ekonomi sudah mampu/kaya materi, tetapi masih mau menerima Raskin, menunjukkan bahwa masalah kemiskinan yang dihadapi bukan hanya miskin ekonomi, tetapi juga miskin secara mentalitas.
Karena itu, Wagub NTB mengaku belum merasa puas, meski penduduk miskin di NTB berdasarkan rilis BPS pada Maret 2019 turun 14,56 persen atau 0,07 persen dibanding September 2018 sebesar 14,63 persen. Terlebih, di tengah kondisi bencana, NTB tetap menjadi daerah di Indonesia yang sangat progesif dalam penurunan angka kemiskinan. Meski penurunannya tipis, justru dijadikannya pelecut dan bahan evaluasi untuk mengoptimalkan pelaksanaan program agar tepat sasaran dan menyentuh langsung akar masalah kemiskinan yang dihadapi masyarakat.
Untuk itu, ia mengajak para kepala perangkat daerah dan seluruh jajarannya untuk terus menggencarkan dan memperkuat pelaksanaan program-program intervensi penanggulangan penduduk miskin.
Selain itu, wagub juga meminta jajarannya terus mencermati dan mengkaji, penyebab dan kendala-kendala atau faktor-faktor yang menyebabkan penurunan angka kemiskinan berjalan lambat. Bahkan, Umi Rohmi meminta masukan dari Kepala BPS NTB, Suntono, yang berdasarkan rilis data BPS, presentase kemiskinan di NTB masih berada di bawah nasional (9,41persen). Namun dilihat dari tingkat kedalaman kemiskinan dan ketimpangan kemiskinan (gini ratio), NTB justru lebih baik dari angka nasional, yakni Nasional 0,382 dan NTB 0,379.
“Itu artinya tingkat dan kedalaman kemiskinan yang dialami oleh masyarakat NTB tidaklah terlalu parah, sehingga lebih mudah untuk menanggulanginya,” ucap Rohmi.
Kepala BPS, Suntono menjelaskan pendekatan untuk mengukur tingkat kemiskinan adalah ketidakmampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar ekonominya. Yakni kebutuhan dasar makanan dan kebutuhan dasar non makanan.
Kebutuhan dasar makanan, kata Suntono adalah pengeluaran untuk memenuhi konsumsi 2.100 kalori perkapita perhari (diwakili paket komoditi kebutuhan dasar makanan sebanyak 52 komoditi). Sedangkan kebutuhan dasar non makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain.
Suntono menjelaskan komoditi makanan yang mendominasi terbentuknya garis Kemiskinan (GK) di NTB adalah pengeluaran untuk makanan, yakni beras (21,41 persen) dan rokok (11,95 persen).
“Garis Kemiskinan (GK) di NTB sebesar 74,54 persen. Hal tersebut karena pengeluaran untuk membeli makanan. Dan hanya 25,46 persen saja untuk pengeluaran non makanan seperti perumahan hanya sebesar 8,59 persen di kota dan 9,55 persen di pedesaan,” jelasnya.
Ia menambahkan, bahwa upaya menurunkan kemiskinan, pada prinsipnya sangat ditentukan oleh efektivitas dan apabila pelaksanaan program-program intervensi yang digulirkan pemerintah telah tepat sasaran. Yaitu distribusi beras miskin, Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Perlindungan Sosial (KPS) dan NBPNT.
Ia menjelaskan masih tingginya garis kemiskinan ( GK ) di NTB, antara lain disebabkan karena distribusi beras miskin belum tepat sasaran. Faktanya kata Suntono, dari hasil survey yang dilakukannya, ternyata 27,6 persen dari penduduk yang paling miskin (desil 1) dan mestinya mendapatkan raskin/rastra, ternyata tidak menerima raskin/NBPNT. Sebaliknya terdapat 20,8 persen penduduk mampu/kaya meteri (desil 10) ternyata menerima raskin. Demikian juga, 72 persen rumah tangga miskin di NTB tidak menerima kartu perlindungan sosial (KPS).
“Apabila program-program penanggulangan kemiskinan tersebut, tepat sasaran, maka pihaknya yakin garis kemiskinan di NTB dapat ditekan hingga 8,5 persen,” katanya. (Ant)