Mataram (Inside Lombok) – Gangguan informasi berupa hoaks hingga ujaran kebencian banyak disebarkan melalui media sosial selama masa pemilu. Salah satu jenis hoaks yang seringkali digunakan untuk menyerang pihak tertentu adalah mal-informasi.
UNESCO dalam publikasinya berjudul “Journalism, Fake News and Disinformation (2018)” mendefinisikan mal-informasi sebagai informasi yang sesuai berdasarkan realitas, tapi digunakan untuk merugikan orang, organisasi, atau bahkan negara. Contohnya adalah laporan yang mengungkap preferensi seksual seseorang tanpa justifikasi kepentingan publik.
Mal-informasi berupa informasi pribadi yang sebenarnya tidak memiliki peran untuk memenuhi kepentingan publik biasanya disebar semata-mata untuk menyerang pihak tertentu. Selama periode pemilu 2024 di NTB, mal-informasi bisa dilihat menyerang masing-masing pasangan calon.
Calon gubernur nomor urut 1, Sitti Rohmi Djalillah misalnya langsung diserang dengan narasi perempuan tidak pantas menjadi pemimpin tepat saat dirinya mengumumkan hendak maju sebagai calon gubernur. Penolakan atas majunya Rohmi sebagai calon gubernur itu seringkali menyitir hadis Nabi Muhammad SAW yang berbunyi “Tidak akan pernah makmur suatu kaum yang mengangkat seorang wanita sebagai pemimpin mereka,” (Hossain 1987:214).
Tidak ketinggalan, calon gubernur nomor urut 2, Zulkieflimansyah diserang dengan mal-informasi bahwa dirinya memiliki istri lebih dari satu. Lantaran berpoligami itu, Zul dinarasikan sebagai sosok yang tidak menghormati dan menghargai perempuan.
Mal-informasi pada dasarnya dimunculkan dengan melanggar privasi seseorang tanpa justifikasi kepentingan publik. Selain itu, penyebaran informasi ini seringkali bertentangan dengan standar dan etika jurnalisme. Konsekuensi mal-informasi terhadap masyarakat pun cukup besar, bahkan bisa sampai merusak integritas proses demokrasi dan mengurangi tingkat vaksinasi masyarakat terhadap hoaks.
Ciri-Ciri Mal-informasi
Dikutip dari buku Modul Pelatihan Literasi Media Melawan Ujaran Kebencian dan berita Bohong (2019) oleh Khaerul Umam Noer dan teman-teman, mal-informasi setidaknya bisa diidentifikasi dari sumber dan tujuannya penyebarannya.
- Sumber: informasi yang disebarkan biasanya memang benar, namun digunakan dan dikemas secara keliru.
- Tujuan Penyebaran: mal-informasi dibuat untuk menipu, mengancam, bahkan membahayakan orang lain.
Pada momen pilkada NTB, mal-informasi terkait pernikahan calon gubernur nomor urut 2, Zulkieflimansyah yang berpoligami menjadi salah satu contoh mal-informasi. Tepat sehari sebelum pencoblosan di 27 November 2024, tersebar selebaran berisi narasi bahwa Zul yang berpoligami merupakan tanda darurat bagi perempuan, bahwa Zul tidak menghargai perempuan dan justru merendahkan. Padahal, aspek pernikahan yang merupakan masalah pribadi seharusnya tidak menjadi landasan utama untuk memilih pemimpin yang akan memenuhi kepentingan publik.
Bagaimana Hoaks Disebarkan?
Nyatanya, hoaks seperti mal-informasi disebarkan oleh oknum secara sistematis. Peran para buzzer atau pendengung pun menjadi penting untuk menyebarkan informasi-informasi yang bisa memecah belah persepsi publik ini.
Sam (bukan nama sebenarnya) misalnya, telah beberapa kali menjadi buzzer di setiap pemilu. Baik untuk pemilihan presiden 2018, hingga pilkada di NTB 2024 kemarin. “Sejak 2018 kita diminta untuk mengurus media sosial. Untuk mempromosikan salah satu paslon presiden melalui beberapa media sosial termasuk di TikTok, Facebook, Instagram, twitter,” ungkap pria asal Lombok Tengah itu.
Diceritakan Sam, salah satu tugas utamanya sebagai buzzer adalah membuat suatu topik menjadi trending di media sosial tertentu. Baik itu propaganda positif maupun negatif yang menyerang calon lainnya. “Misalnya kita kalau di twitter main tagar atau hastag-hastag. Itu sudah ada arahan untuk memainkan hastag tertentu. Misalnya sehari itu punya target. Setiap hari itu main tagar, setiap hari dan harus trending topik,” ujarnya pada Inside Lombok.
Terkait isu apa yang hendak dimainkan, diakui Sam mengikuti arahan komandan lapangan. Mengingat kerja-kerja buzzer adalah kerja sistematis yang terpusat di satu produsen isu. Selain itu, tidak jarang para buzzer harus memiliki lebih dari satu akun untuk mendukung misi mereka menyebarkan propaganda.
“Kita kan biasanya kalau sebagai user kita menyediakan 5-10 akun. Itu bisa dioperasikan dalam satu operasi, tapi ada juga yang sebagai second akun atau akun cadangan. Yang 10 akun di satu pemakai dengan nama yang berbeda-beda. User itu satu orang bisa menyediakan lima akun ada yang sekian akun,” ungkapnya.
Atas kerja-kerjanya menyebar propaganda berupa ujaran kebencian, misinformasi, hingga hoaks itu, Sam mengaku mendapat bayaran yang cukup menggiurkan bagi dirinya. “Kadang-kadang UMR (upah minimum regional), itu kita dikasih per bulan. Yang saya pernah jalani itu per bulan itu UMR. Itu kan sebentar kontraknya, ya pada saat menjelang pemilu. Buzzer politik,” jelasnya.
Berbeda dengan di pilpres, untuk pilkada NTB tahun ini Sam mengaku mendapat kontrak sekitar dua minggu untuk menjadi buzzer. Meski begitu, sebagian besar tugasnya tidak jauh berbeda: tetap menunggu arahan komandan lapangan terkait isu apa yang hendak disebarkan ke publik. “Jam kerja itu tergantung komandan. Kalau ada perintah komandan, jadi kita harus setiap hari mengupload. Jam operasinya memang tidak tentu,” ungkapnya.
Koordinator Wilayah Mafindo NTB dan Manager Partnership Mafindo, Nurliya Ni’matul Rohmah pun memberikan pandangannya terkait aktivitas buzzer di pilkada NTB tahun ini. Menurutnya, penyebaran berita hoaks justru massif karena adanya target menumbuhkan kebencian dari masing-masing tim pasangan calon.
“Sehingga dia berinisiasi memecah itu dengan menyebarkan berita hoaks. Jadi berita hoaks itu dimulai karena adanya ujaran kebencian,” ujarnya. Nurliya pun mengingatkan kembali, salah satu alasan hoaks dibuat adalah untuk mengacaukan perasaan dan pikiran seseorang. “Kita bertanya-tanya ngapain sih orang sampai ingin mengacaukan pikiran seseorang atau emosi seseorang. Nah kita akan kepikiran, okey, mungkin mereka mencari uang,” lanjutnya.
Dijelaskan, setidaknya ada dua cara para oknum menghasilkan uang dari produksi hoaks dan ujaran kebencian. Pertama, jika hoaks dan ujaran kebencian diproduksi lewat situs jaringan, maka semakin viral berita dan semakin banyak klik akan semakin banyak uang dari iklan yang bisa didapatkan lewat sistem cost per click (CPC) pengiklan. Kedua, jika hoaks dan ujaran kebencian diproduksi lewat media sosial maka semakin viral dan bertambahnya pengikut, akun bisa dijual. Ketiga, mendapatkan bayaran dari oknum tertentu.
Diakui, berbeda dengan orang-orang yang menjadi target hoaks dan ujaran kebencian, para buzzer yang menyebarkannya justru biasanya bukan orang-orang yang memiliki kebencian tertentu. “Buzzer itu tidak ada lain dan tidak ada bukan tujuannya duit. Jadi mereka digerakkan oleh orang yang berduit menyebarkan berita hoaks dan ujaran kebencian tersebut,” ujar Nurliya.
Di sisi lain, pihaknya mencatat di 2024 ini pergolakan berita hoaks dan ujaran kebencian memang meningkat tajam. Salah satu alasannya karena pemilu diadakan serentak dan berturut-turut untuk pilpres – pileg dan pilkada.
“Ternyata berita hoaks yang berbau politik itu sangat tinggi dengan hoaks-hoaks yang lain. Saking serunya si pemilihan ini. Setelah pemilu terus pilkada. Jadi di tahun 2024 ini peningkatan tajam banget jika dibandingkan dengan tahun 2023. Ini terjadi di seluruh daerah di Indonesia juga, bukan cuma di NTB saja,” ungkapnya.
Apa yang Bisa Dilakukan Agar Tak Terjebak Hoaks?
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan agar tidak terjebak hoaks dan dapat melihat informasi lebih objektif:
- Periksa fakta: Gunakan alat pencarian foto atau video seperti reverse image search untuk memastikan keaslian konten. Penelusuran ini dapat membantu Anda melacak waktu dan konteks peristiwa.
- Hati-hati dengan narasi atau kalimat yang sensasional dan bombastis.
- Cek sumber: Hati-hati dalam berbagi. Pastikan informasi yang Anda terima berasal dari sumber resmi dan kredibel. Sumber tidak terpercaya biasanya memiliki kesalahan ejaan dan karakter yang tidak biasa. Sedangkan media kredibel memiliki standar khusus dalam penerbitan berita. Anda juga bisa memeriksa keabsahan penulis atau pembuat konten. Cermati apakah dia memang memiliki keahlian untuk berbicara topik tersebut atau sekadar beropini tanpa sumber pendukung.
- Cermati, apakah artikel serupa juga diunggah oleh media terverifikasi lainnya.
- Sebarkan klarifikasi: Jika menemukan hoaks, bantu untuk membongkar informasi palsu tersebut dengan berbagai temuan fakta. (r)