Mataram (Inside Lombok) – Meskipun belum memasuki masa kampanye pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg), sejumlah calon dari berbagai partai politik curi start dengan memasang sejumlah alat peraga kampanyenya. Baik baliho atau spanduk mulai terpasan di beberapa titik strategis. Hal itu pun menjadi perhatian Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) NTB.
Ketua Bawaslu NTB, Itratif mengakui pihaknya belum dapat mengambil tindakan atas banyaknya alat peraga kampanye yang mulai dipasang itu. Namun sosialisasi pencegahan potensi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh peserta pemilu terus dilakukan.
Terkait dengan baliho yang bertebaran saat ini, pihaknya melihat itu bagian dari sosialisasi dari peserta pemilu untuk memperkenalkan diri ke publik. “Memang itu masih ada perdebatan soal siapa yang berwenang untuk melakukan penindakan. Oleh karena itu kami di Bawaslu terus juga melakukan koordinasi dengan pemerintah kota/kabupaten,” ujar Itratif, Rabu (12/7).
Apakah penempatan atau pemasangan alat peraga sosialisasi itu dianggap mengganggu estetika keindahan atau kenyaman kabupaten/kota, pihaknya tidak bisa begitu saja mengambil tindakan untuk menurunkan alat peraga kampanye yang ada. “Karena menurut kami pemerintah kabupaten/kota juga punya andil untuk ikut terlibat aktif menertibkan alat peraga yang beterbangan sekarang ini,” jelasnya.
Selain itu, kampanye peserta pemilu tidak hanya dilakukan secara offline seperti memasang baliho atau spanduk dan poster, melainkan ada yang secara online melalui berbagai media sosial. Terlebih sekarang eranya sudah era digital, yang mana semua masyarakat dapat mengakses media sosial dengan mudah.
“Era kita sekarang ini era digital, setiap orang itu bisa jadi sumber berita, bisa jadi produser berita sekaligus, dan kita awasi itu adalah konten kontennya. Apakah ada konten yang penyebar hoaks, sara atau lain sebagainya dianggap berpotensi memecah belah masyarakat kita,” terangnya.
Bawaslu juga telah menginstruksikan agar jajarannya hingga ke tingkat panwas (panitia pengawas) di tingkat desa yang baru terbentuk. Di mana mereka harus memiliki akun media sosial agar tidak terjadi pelanggaran.
“Harapan kita sama untuk melakukan patroli digital, mengawasi akun akun yang ada di Facebook, Twitter, atau di TikTok. Sehingga mereka bisa mendapatkan informasi lebih awal terkait dengan informasi informasi atau postingan yang dianggap masuk kualifikasi hoaks sara atau seperti lainnya,” pungkasnya. (dpi)