Mataram (Inside Lombok) – Awal tahun 2025, kasus penyakit mulut dan kuku (PMK) kembali merebak di Provinsi NTB. Pada awal tahun ini, jumlah kasus PMK di NTB mencapai 67 kasus tersebar di beberapa wilayah.
Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB, Muhammad Riadi mengatakan daerah-daerah yang kembali merebah PMK pada sapi yaitu di Lombok Barat sebanyak 37 kasus, Lombok Timur 13 kasus, Sumbawa Barat sebanyak 14 kasus dan Kabupaten Dompu sebanyak 3 kasus. “PMK mulai ditemukan di NTB pada awal tahun 2025 yaitu 1 Januari hingga 14 Januari 2025. Kasus ya mencapai 67 kasus,” katanya.
Menurutnya, jumlah kasus yang ditemukan kembali pada tahun 2025 ini tidak terlalu banyak atau masih terkendali. Kasus baru tahun 2025 ini rata-rata sapi yang belum diberikan vaksin. “Yang terkena ini semua yang belum di vaksin yang anaknya. Tahun lalu beranak tidak divaksin itu lah yang terkena tahun ini,” ujarnya.
Ia mengharapkan, munculnya kasus baru ini tidak menjadi wabah seperti tahun-tahun sebelumnya. Karena vaksin yang sudah dilakukan saat wabah PMK cukup maksimal sehingga diharapkan tidak menyebar lebih luas lagi. “Langkah kita itu pengobatan dulu. Kalau yang kandang ada yang terkena kita desinfeksi. Kita obati ternak yang terkena,” kata Riadi.
Selain itu, pemda juga akan membatasi sapi keluar untuk mengantisipasi kasus PMK semakin parah. Artinya, jika sapi sudah terkena PMK peternak diminta untuk tidak membawanya keluar. “Yang jadi kendala kita pada saat sembuh, masa saya dilarang jual ke pasar. Itu yang jadi persoalan. Terus kita edukasi mereka,” katanya.
Diterangkan, jika sapi sudah terkena PMK harus didiamkan selama dua tahun untuk memastikan tidak ada lagi virus pada tubuh sapi. “Kalau sudah dia sembuh kan dua tahun dia bertahan,” katanya.
Tahun ini, Pemprov NTB mendapatkan vaksin PMK yaitu sebanyak 280 ribu dosis. Ratusan ribu dosis vaksin tersebut saat ini masih dalam tahap dropping. “Kemarin saya kirim surat dan dapat 280 an ribu lebih lah. Ya memang sedikit kalau dibanding dengan populasi kita. Kan populasi kita 1,2 juta,” ujarnya.
Namun saat ini yang menjadi persoalan adalah biaya operasional pemberian vaksin kepada para ternak. Karena untuk biaya operasional ini disebut tidak sedikit dan harus dialokasikan di APBD.
“Sebenarnya bulan Agustus dulu itu sudah ada surat dari Dirjen PKH untuk Bupati dan Gubernur, supaya menganggarkan untuk pengendalian penyakit hewan strategis itu melalui APBD,” katanya.
Pengalokasian anggaran melalui APBD ini sudah tidak bisa dilakukan sehingga direncanakan melalui belanja tak terduga (BTT). Akan tetapi penggunaan BTT ini jika kasus PMK terjadi peningkatan.
“Wabah ini panjang. Dia akan muncul lagi. Kita butuh BTT tinggal dihitung saja. Kalau populasi kita 1,2 juta dikali dengan Rp17.500 biaya vaksin dan dikali lagi dengan biaya operasional sekali turun itu Rp25 ribu,” kata Riadi merincikan. (azm)