24.5 C
Mataram
Minggu, 29 September 2024
BerandaDaerahNTBCatatan di 2023, Kasus Pernikahan Usia Anak di NTB Naik Jadi 17.32...

Catatan di 2023, Kasus Pernikahan Usia Anak di NTB Naik Jadi 17.32 Persen

Mataram (Inside Lombok) – Kasus pernikahan anak di Provinsi NTB tahun 2023 lalu tercatat mengalami peningkatan. Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB, pernikahan anak di 2023 mencapai 17,32 persen.

Plh Kepala Bidang Kualitas Hidup Perempuan pada DP3AP2B NTB, Siti Muzakarah menyebutkan di 2020 kasus pernikahan anak sebesar 16,61 persen. Persentase ini sempat menurun di 2021 menjadi 16,59 persen, dan di 2022 16,23 persen. “Data BPS itu 17,32 persen. Ini belum dirilis, tapi sudah ada datanya di BPS,” katanya.

Sedangkan untuk jumlah jiwa sendiri, Siti mengaku belum mendapatkan data secara pasti. Karena persentase ini tergantung dari jumlah pendudukan di NTB saat ini. “Jumlah penduduknya bertambah, terus persentasenya bertambah maka melonjak. Kecuali jumlah penduduknya tetap. Kalau secara angka hafal,” ungkapnya.

Ia mengatakan, kasus pernikahan anak ini paling banyak terjadi di Pulau Lombok. Karena untuk di Pulau Sumbawa usia rata-rata pernikahan pertama perempuan yaitu pada usia 22 tahun. “Kan target kita usia 21 tahun. Di Pulau Lombok yang paling rendah itu ada usia kawinnya itu 19 tahun,” katanya.

- Advertisement -

Masih tingginya kasus ini juga disebabkan karena adanya aturan yang diterapkan di masing-masing daerah. Misalnya seperti jika pulang terlalu malam maka harus dinikahkan. Kondisi banyak terjadi pada saat lebaran topat lalu. “Kalau sudah keluar sama laki-laki dan melebihi dari waktu yang ditetapkan misalnya jam 10 malam mau tidak mau harus dinikahkan,” ujarnya.

Aturan-aturan ini masih banyak diterapkan hingga saat ini di beberapa desa khususnya di Pulau Lombok. “Pas lebaran topat ini sangat terbanyak terjadi kawin anak. Mereka kan pergi wisata rata-rata pemuda ini dan pulang malam dan itu dinikahkan,” katanya.

Selain adanya aturan, kasus pernikahan anak ini juga disebabkan karena persoalan ekonomi. Dimana, jika sudah diminta dianggap sudah tidak menjadi beban keluarga lagi. “Padahal kan laki-laki tidak punya rumah dan justru jadi menambah beban,” tegasnya.

Upaya pencegahan kasus pernikahan usia anak di NTB disebut sudah banyak yang dilakukan. Misalnya, sosialisasi kesehatan reproduksi, deklarasi stop pernikahan anak, dan beberapa upaya lainnya. “Tapi ini tidak mempan. Karena yang datang ini biasanya bukan pelaku dari pernikahan anak itu,” katanya. (azm)

- Advertisement -


Berita Populer