Mataram (Inside Lombok) – Badan Pusat Statistik (BPS) NTB mencatat Indeks Ketimpangan Gender (IKG) NTB tahun 2022 sebesar 0,648 atau turun 0,005 poin, dibandingkan tahun 2021 yang sebesar 0,653. Menurunnya Indeks Ketimpangan Gender (IKG) terutama dipengaruhi oleh perbaikan dimensi pemberdayaan. Penurunan ketimpangan gender terjadi di sebagian besar kabupaten/kota di NTB.
Ketimpangan gender NTB sejak 2018 hingga 2022 secara umum mengalami penurunan. Sejak tahun 2018, IKG berkurang sebesar 0,071 poin, rata-rata turun 0,0178 poin per tahun. Hal ini mengindikasikan ketimpangan gender yang semakin mengecil atau kesetaraan yang semakin membaik. Namun demikian terjadi kenaikan ketimpangan gender pada tahun 2019 sebesar 0,091 poin.
Penurunan ketimpangan gender terbesar terjadi pada 2021 yang turun 0,012 poin, utamanya dipengaruhi oleh menurunnya ketimpangan dalam dimensi pendidikan. Persentase penduduk perempuan umur di atas 25 tahun dengan pendidikan SMA ke atas meningkat dari 24,20 persen pada tahun 2020 menjadi 27,21 persen pada tahun 2021. Sedangkan peningkatan ketimpangan gender yang terjadi pada tahun 2019 karena penurunan proporsi anggota legislatif perempuan dari 9,23 persen tahun 2018 menjadi 1,54 persen tahun 2019.
“Terkait IKG pada dimensi pemberdayaan yang diwakili oleh dua indikator yang salah satunya adalah indikator keterwakilan anggota DPRD dari perempuan. Di mana di DPRD NTB itu hanya ada 1 orang dari total anggota sebanyak 65 orang, jadi itu sangat timpang sekali,” jelas Kepala BPS NTB, Wahyudin, Rabu (2/8).
Dikatakan bahwa ketimpangan di anggota legislatif DPRD NTB yakni 1 dibanding 64 atau hanya satu orang wakil rakyat perempuan dari 65 anggota yang duduk di DPRD NTB. Sehingga ketimpangannya sangat tinggi yakni 98,41 laki-laki dan 1,59 perempuan.
“Itulah salah satu penyebab angka IKG menjadi tinggi disamping indikator kesehatan reproduksi. Angka IKG tinggi artinya ketimpangannya tinggi dan nggak bagus,” ujarnya.
Ketimpangan wakil rakyat dari gender perempuan dan laki-laki ini tidak lepas dari pilihan masyarakat. Keterwakilan 30 persen perempuan di pemilu sudah ditetapkan. Namun kenyataannya yang terpilih hanya satu orang perempuan di DPRD NTB. “Ya kalau cuman satu ya pasti ketimpangannya tinggi dari 65 anggota dewan di DPRD NTB,” ucapnya.
Sementara itu, untuk dimensi kesehatan reproduksi perempuan dibentuk dari 2 (dua) indikator, yaitu proporsi perempuan pernah kawin usia 15-49 tahun yang melahirkan hidup tidak di fasilitas kesehatan (MTF) dan proporsi perempuan pernah kawin usia 15-49 tahun yang saat melahirkan hidup pertama berusia < 20 tahun (MHPK20). Pada tahun 2018 angka MTF sebesar 0,351, kemudian secara berturut-turut turun hingga menjadi 0,300 pada tahun 2021, dan mengalami kenaikan pada tahun 2022 menjadi 0,305.
“Ketimpangan ini juga dipengaruhi oleh indikator kesehatan reproduksi. Di mana NTB masih banyak wanita usia 15 hingga 49 tahun yang melahirkan anak bukan di fasilitas kesehatan,” jelasnya.
Dalam menekan ketimpangan gender ini pihaknya menekankan agar sosialisasi kepada masyarakat untuk melahirkan di fasilitas kesehatan. Selain itu juga meningkatkan usia atau pendewasaan usia perkawinan. “Memang masih banyak anak dibawah umur menikah, sehingga hal itu akan mengganggu kesehatan reproduksinya sebab rentan terhadap kematian ibu dan bayi saat melahirkan,” tuturnya.
Dijelaskan, dari dimensi pemberdayaan dibentuk oleh 2 indikator, yaitu persentase anggota legislatif dan persentase perempuan 25 tahun ke atas yang berpendidikan SMA ke atas. Selama periode 2018-2022, persentase perempuan anggota legislatif cenderung tetap. Namun sejak tahun 2019 terus mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
“Kondisi ini merepresentasikan peran perempuan dan laki-laki dalam pengambilan keputusan masih belum setara,” tandasnya. (dpi)