Mataram (Inside Lombok) – Presiden RI Prabowo Subianto telah menetapkan untuk kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 sebesar 6,5 persen. Kenaikan ini diterima oleh serikat pekerja, termasuk di NTB. Pasalnya kenaikan ini menjadi kejelasan untuk penetapan UMP maupun UMK (Upah Minimal Kabupaten/Kota). Mengingat sampai dengan Desember 2024 belum ada pembahasan terkait dengan UMP.
Ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN) NTB, Lalu Wira Sakti mengatakan, pada prinsipnya kenaikan upah 6,5 persen termasuk luar biasa. Meskipun dirasa masih kurang dari harapan mereka yang besar 10-12 persen untuk kenaikannya. Tetapi dalam hal ini presiden mempertimbangkan tentang keberlangsungan pengusaha juga. Artinya tidak memberatkan bagi pengusaha dan tidak mempersulit pekerja.
“Jadi ini sudah menjadi acuan kawan-kawan ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota se- Indonesia untuk memperdebatkan tentang kenaikan upah wilayah masing-masing. Tetapi tidak boleh dibawah di angka itu,” ujarnya, Selasa (3/12).
Dengan besaran kenaikkan upah 6,5 persen tersebut, pastinya dari pengusaha akan melakukan negosiasi dengan dewan pengupahan. Meski demikian, SPN NTB akan tetap dikawal. Mana kala upah minimum itu dibawah 6,5 persen, terutama di NTB maka SPN dan perangkat KSPI pasti mengawal agar nilainya tidak dibawah ketentuan tersebut.
“Justru saya berharap kawan-kawan di dewan pengupahan memperdebatkan agar lebih dari 6,5 persen, kalau itu bisa. Kalau tidak, minimal di angka itu,” terangnya.
Sebagaimana diketahui serikat pekerja beberapa waktu lalu meminta untuk penetapan UMP naik sebesar 10-12 persen. Berkaitan dengan hal itu, sebenarnya kembali pada bagaiman kepiawaian perwakilan serikat pekerja yang duduk di dewan pengupahan untuk memperdebatkan sidang tentang penetapan kenaikkan upah. Karena dilihat sekarang ini, pertumbuhan ekonomi NTB mengalami kenaikkan, inflasi naik.
“Sehingga dasar itu kita masih memungkinkan untuk menaikkan kenaikan upah itu sampai 10 persen. Tapi kembali lagi, ini jadi acuan kawan-kawan dan tidak boleh ada negosiasi atau lobi yang muncul dari teman-teman pengusaha. Karena isu berkembang, pengusaha pasti berkeberatan. Tapi kan tidak boleh seperti itu. Karena sekian tahun itu selalu kenaikan upahnya sangat kecil,” jelasnya.
Sementara itu, penetapan UMP sebelum-sebelumnya masih ada beberapa perusahaan tidak mengikuti aturan atau memberikan dibawah standar yang telah ditetapkan dewan pengupahan. Tapi sebagai pemerhati buruh, tidak boleh menutup mata dengan perusahaan-perusahaan menengah kebawah, jika mereka mengikuti bisa saja gulung tikar. Mungkin ada kesepakatan antara perusahaan dan pekerja.
“Karena bagaimanapun perusahaan harus tumbuh dan berkembang. Tapi pengusaha atau perusahaan yang sektor menengah ke atas, tentu manakala kenaikkan yang sudah ditetapkan segitu maka dia jalankan. Kalau tidak, ya kita dorong karena memang ada sanksi pidana kalau Undang-Undang 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan,” jelasnya.
Pada undang-undang tersebut, tentang siapa yang memberikan upah dibawah standar yang ditetapkan oleh pemerintah dalam hal ini UMP/UMK, jika tidak sesuai maka ada sanksi pidana 1 tahun, minimal denda Rp100 juta dan maksimal Rp400 juta dan sanksi penjara 4 tahun. “Kalau kita jalankan itu, akan memberikan efek jera kepada mereka (pengusaha,red),” pungkasnya. (dpi)