Mataram (Inside Lombok) – Persoalan perempuan di NTB sangat kompleks. Namun selama debat pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur NTB berlangsung, persoalan perempuan jarang masuk dalam pembahasan.
Ketua FJPI Cabang Provinsi NTB, Linggauni mengungkapkan bahwa pembahasan tentang perempuan dari ketiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur NTB masih sangat minim. Sementara pada pilkada kali ini, dua perempuan itu maju baik sebagai calon Gubernur maupun wakil Gubernur.
“Kita bisa cari di internet, apa saja yang dibahas oleh ketiga paslon di dalam berita. Pembahasan tentang program kerja yang melibatkan perempuan itu masih sangat minim. Padahal persoalan perempuan di NTB ini sangat kompleks,” ujar Lingga.
Persoalan perempuan diharapkan bisa masuk dalam tema debat yang dilaksanakan oleh KPU NTB. Menurutnya, diskusi yang digelar FJPI NTB dengan tema “Sejauh Mana Peran Perempuan dalam Program Kerja Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur NTB” bisa menjadi perhatian dan masuk dalam tema debat.
Dengan mengangkat tema semacam ini, masih sangat jarang dilakukan. Kondisi tersebut menjadi salah satu keresahan para jurnalis perempuan di NTB. “Pertanyaan kita, kenapa ya persoalan perempuan ini jarang sekali disinggung atau masuk menjadi topik utama program kerja calon kepala daerah ini. Padahal di NTB sendiri, DPT (daftar pemilih tetap, Red) lebih banyak perempuan,” ujarnya.
Dari fakta tersebut, sudah selayaknya, peran perempuan harus tertuang secara jelas dan gamblang di dalam program kerja kepala daerah. “Inilah tujuan dari diskusi kami, membedah program kerja para calon kepala daerah, khususnya calon gubernur dan wakil gubernur NTB, sejauh mana mereka melibatkan perempuan di dalam program pembangunan dalam lima tahun kedepan,” pungkas editor media IDN Times NTB ini.
Sementara itu, Akademisi sekaligus Ketua PWNA NTB Miftahul Jannah mengatakan sudah membaca berbagai program kerja yang sudah tertuang di dalam visi–misi ketiga pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur NTB. Dari program kerja yang dibuat oleh para calon kepala daerah tersebut tidak ada satu pun yang menjelaskan secara jelas mengenai peran perempuan.
“Dari ketiga calon, tidak menyebutkan secara jelas dan spesifik program kerja. Padahal perempuan salah satu pemilih produktif. Kalau melihat jumlah penduduk NTB sekarang, rasionya 51 persen perempuan dan 49 persen laki-laki. Di DPT pun masih didominasi perempuan, jadi pemilih perempuan sangat menjanjikan,” jelasnya.
Menurutnya, perempuan harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk pembangunan daerah. Tentu ini akan berdampak pada Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). “Kita masih di bawah Papua, IDG ini dilihat dari partisipasi perempuan dalam ranah politik, pendidikan dan ekonomi,” terangnya.
Sedangkan keterwakilan perempuan di parlemen, juga berada di posisi 34 dari 34 provinsi dan mendapatkan 1,5 poin. Berikutnya, Indeks Ketimpangan Gender, Provinsi NTB yang dikenal dengan sebutan Bumi Gora ini berada di posisi pertama dari 34 provinsi, memiliki 0,6 poin. Artinya, menurut Miftah, ada kesenjangan yang sangat jauh antara keterlibatan perempuan dengan laki-laki.
“Saya rasa ini pertanyaan untuk kita semua, kenapa para calon tidak menjadikan persoalan perempuan ini sebagai isu krusial, padahal sebenarnya isu perempuan adalah isu yang paling meningkat saat sekarang,” kata Miftah.
Menurut Miftah, visi-misi yang dihadirkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur NTB ini masih bersifat umum. Belum menyentuh hal yang paling fundamental perihal perempuan.
Miftah menyebutkan ada sejumlah kemungkinan yang menyebabkan hal tersebut masih terjadi. Paling mendekati itu, mereka (para paslon) tidak memiliki pengalaman pribadi dengan isu-isu perempuan.
“Kekerasan seksual, pernikahan dini, tingginya angka stunting, isu perempuan sebagai kepala keluarga, isu pekerja migran Indonesia, ini semuanya berkenaan dengan perempuan,” ujar Miftah.
Menurutnya, memperhatikan kepentingan perempuan harus menjadi isu utama. Karena perempuan pasti menjadi eksekutor program kerja pemerintah di tingkat akar rumput. “Sebenarnya memasukkan perempuan di dalam isu program kerja bukan sesuatu yang tidak mungkin, dan ini sebenarnya memberikan nilai tawar yang lebih besar karena perempuan adalah pelaksana. Tetapi belum dimaksimalkan,” tandasnya.
Hal senada disampaikan oleh Akademisi UIN Mataram sekaligus Pegiat Gender dan Pengamat Politik, Purnami Safitri. Ia melihat masih minim pembahasan tentang persoalan perempuan dari ketiga paslon, meskipun dua paslon memiliki calon perempuan.
Pemangku kepentingan masih melihat kapasitas perempuan dan keterlibatannya di ruang-ruang publik, lebih banyak diberikan pada peran gender tradisional. “Contohnya di organisasi desa, laki-laki senang kalau ada anggota perempuan, karena senang dibuatkan kopi, teh atau semacamnya, padahal sesama anggota organisasi, posisi mereka setara,” terang akademisi yang akrab disapa Nami ini.
Menurutnya, meski perempuan aktif di organisasi kemasyarakatan, jarang menempati posisi yang sangat strategis. Sehingga ketika posisinya tidak berada di ranah pengambilan kebijakan atau keputusan, akhirnya program kerja yang dirancang oleh organisasi tersebut, berjalan seperti apa adanya. “Tidak pernah benar-benar mempertimbangkan kepentingan perempuan,” ujarnya.
Bukan tidak mungkin, kondisi serupa juga terjadi di lingkup pemerintah daerah (pemda). Karenanya, ia berharap, peran dan keterlibatan perempuan harus menjadi isu strategis bagi pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur NTB.
Di samping itu, Nami juga mengingatkan, calon kepala daerah jangan selalu bertindak sebagai kepanjangan tangan partai politik (parpol) pendukung. Sebab parpol itu tidak ideologis namun bersifat pragmatis.
“Calon kepala daerah kita seharusnya memiliki kebijakan yang kuat, bagaimana mereka mengangkat tema perempuan yang kemudian itu dituangkan secara rinci di program kerja,” tandasnya. (azm)