Mataram (Inside Lombok) – Penjabat Gubernur NTB, Hassanudin angkat bicara terkait kasus Operasi tangkap tangan (OTT) kepala bidang SMK Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) NTB, Rabu (11/12) kemarin. Ia menyatakan menyerahkan sepenuhnya proses hukum kepada aparat terkait, serta berharap semua pihak yang terlibat bisa diproses.
“Saya juga baru menerima dan mendapatkan laporan secara lisan dari kepala dinas, ada kegiatan dari apakah itu OTT atau gratifikasi, atau kegiatan yang lain nanti secara resmi dari penyidik,” ujar Hassanudin, Kamis (12/12) sore.
“Simpul-simpul yang terlibat silahkan diproses, kita tidak memperkenankan dan memperbolehkan kegiatan-kegiatan yang diluar prosedural,” lanjutnya. Hassanudin menegaskan belum bisa memberikan keterangan secara rinci terkait kasus yang menjerat Kabid SMK Dikbud NTB tersebut. Namun memberikan kesempatan kepad APH untuk memproses sesuai hukum yang berlaku.
Ia pun mengingatkan semua pegawai untuk bekerja sesuai prosedur. Peringatan itu sudah diberikan jauh sebelumnya, bahkan pada saat pertama kali menjabat sebagai Penjabat Gubernur Provinsi NTB. “Dari pertama kita di sini, bahwa kegiatan yang tidak sesuai ketentuan hindari dan tidak diperbolehkan dan tidak diperkenankan,” katanya.
Dengan adanya kasus yang menimpa Kabid SMK ini, tentu peringatan kepada para pegawai akan semakin ditingkatkan. “Kalau dengan adanya kejadian ini tentunya warning akan semakin ditingkatkan. Kan saya selalu ingatkan kata Bang Napi Waspadalah niat dan kesempatan,” katanya.
Sementara terkait dengan pencopotan dari jabatan, Hassanudin menegaskan pasti akan dilakukan. Namun hal tersebut ada mekanisme sesuai dengan proses hukum. “Ditetapkan sebagai tersangka kita tetap sebagai praduga tak bersalah,” katanya.
Kasat Reskrim Polresta Mataram, AKP Regi Halili mengatakan status Kabid SMK Dinas Dikbud NTB sudah ditetapkan sebagai tersangka. Selain itu, pihaknya akan melakukan penggeledahan di ruangnya tersangka. Hal ini dilakukan karena masih ada dokumen yang menjadi alat bukti dugaan pungli tersebut. “Karena ada beberapa dokumen yang kita terima seperti kontrak kerja, karena ini berkaitan dengan administrasi,” kata Regi.
Tersangka disangkakan pasal 12 huruf E Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (UU Tipikor) dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara dan denda maksimal Rp1 miliar. (azm)