Mataram (Inside Lombok) – Wacana global mengenai transisi energi telah menjadi pusat perhatian. Ancaman krisis energi menghantui keberlangsungan pembangunan ekonomi baik skala global maupun di Indonesia. Konsumsi energi saat ini terus meningkat. Cadangan energi di Indonesia dari bahan bakar fosil akan habis dalam 15 tahun ke depan.
Pemerintah telah menetapkan kebijakan bauran energi di Indonesia untuk mendorong akselerasi pemanfaatan EBT (Energi Baru Terbarukan) melalui Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Melalui peraturan ini, target bauran energi baru dan terbarukan pada tahun 2025 ditargetkan paling sedikit 23 persen dan 31 persen pada 2050. Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan Perpres No.112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik dalam mempercepat transisi bersih melalui penghentian operasi PLTU batu bara pada 2030.
Pemerintah daerah juga menyusun berbagai peraturan turunan untuk proses percepatan transisi energi melalui EBT, salah satunya adalah NTB. Ada dua peraturan daerah yang telah diterbitkan, yaitu Perda No. 2 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Energi dan Kelistrikan serta Perda No. 14 Tahun 2019 tentang Rencana Umum Energi Daerah Provinsi.
NTB memiliki potensi energi terbarukan yang dapat dikembangkan sebagai sumber energi listrik, di antaranya energi gelombang laut, panas bumi, energi air, energi angin dan terutama energi matahari. Ke depan, diharapkan potensi tersebut dapat dikembangkan melalui skala usaha yang lebih ekonomis dan kompetitif seperti UMKM, sehingga pada akhirnya mampu memenuhi target bauran energi sesuai dengan target Rencana Umum Energi Daerah sebesar 23 persen pada akhir 2025.
Sampai akhir 2022, Pemprov NTB terus berupaya mewujudkan realisasi bauran energi di tingkat provinsi. Berdasarkan laporan tahunan Dinas ESDM di 2022, realisasi bauran energi semester I 2022 mencapai 19,16 persen, atau melebihi target sebesar 17,43 persen. Capaian tersebut jauh meningkat dibandingkan dengan capaian di 2021 yang hanya 13.04 persen dari target 15,76 persen.
Banyak faktor yang mempengaruhi realisasi bauran energi tersebut, salah satunya adanya komitmen dan kolaborasi dari seluruh stakeholder dalam mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan energi fosil dan beralih menggunakan energi terbarukan. Peningkatan bauran energi akan berdampak positif terhadap kualitas lingkungan hidup dan pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di NTB.
Project Coordinator Program We4Jet NTB, Nurjanah mengatakan pengarusutamaan Gender, equality, disability and social inclusion (GEDSI) perlu didorong dalam kerangka regulasi yang memadai agar transisi energi tidak menimbulkan dampak negatif bagi perempuan, anak, dan kelompok rentan lainnya. Selain itu, langkah-langkah percepatan dan upaya baik yang telah dilakukan pemerintah Nusa Tenggara Barat perlu diperkuat dengan perspektif GEDSI baik dalam perencanaan hingga implementasi kebijakan.
“Yang dilibatkan dari kegiatan terkait GEDSI untuk forum multipihak. Kalau pemerintah itu ada empat OPD strategis,” katanya. Hal ini untuk memastikan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat dari transisi energi terbarukan yang adil dapat terwujud. Sehingga keterlibatan ada kalangan anak muda, disabilitas, pelaku industri dan unsur media. “Kalau untuk peningkatan perspektif GEDSI untuk transisi energi terbarukan baru dilakukan di NTB yang dilakukan oleh Yayasan Penabulu,” katanya.
Kegiatan yang digelar bertujuan memperkenalkan dampak yang ditimbulkan dengan menggunakan bahan bakar dari fosil. Diharapkan kedepannya tidak ada kepanikan sosial ditengah masyarakat jika ada perubahan.
“Kalau kebijakan nasional kita ini kan sebenarnya sudah pada tahapan tidak lagi menerapkan bahan bakar dari fosil karena dampak lingkungan yang cukup mengkhawatirkan,” tegasnya. (azm)