Mataram (Inside Lombok) – Validasi data kemiskinan masih menjadi persoalan di Indonesia lantaran masih banyak yang bukan masyarakat miskin diduga menerima program bantuan disalurkan pemerintah. Kondisi itu pun terjadi hampir di semua wilayah, tidak terkecuali di NTB.
Anggota DPR RI dapil NTB, Suryadi Jaya Purnama pun mengomentari terkait validitas data untuk penerima manfaat dari berbagai program-program yang bersifat bantuan sosial, biasanya ini disebabkan oleh dua faktor. Pertama ada karakteristik yang cepat di tengah-tengah masyarakat, karena dinamikanya mengikut ekonomi sehingga orang yang tadinya kaya, tiba tiba miskin. Begitu sebaliknya, fenomena ini sering terjadi karena perubahan.
“Perubahan itu tidak diimbangi dengan program pemerintah, misalnya program pendataan, karena pendataan itu mereka menggunakan siklus anggaran, menunggu harus ada anggaran cair. Kemudian ada operasional sehingga dilakukan pendataan ulang,” ujar Suryadi, Rabu (24/1).
Pemerintah pun dinilai perlu membuat formulasi validasi data yang tidak terikat dengan siklus anggaran setiap 6 bulan atau periode lainnya. Sehingga setiap saat bisa dilakukan validasi dan yang harus dibuat.
Kedua, alasan data sulit divalidasi adalah ada faktor manusiawi, misalnya ada kedekatan personal dengan pihak pendataan. bahkan ada aspek aspek politik juga yang kemudian mempengaruhi pendataan itu, mulai dari politik di tingkat desa, kabupaten kota bahkan pilpres. “Misalnya saat ini banyak paslon yang ditengarai ada indikasi di lapangan justru memanfaatkan data-data itu. Bahkan ketika tidak mendukungnya dilakukan perubahan-perubahan yang akhirnya menimbulkan kesimpangsiuran data tersebut,” jelasnya.
Polemik data ini jika dilihat dari sisi ada kerugian atau tidaknya, menurutnya ini bukan masalah rugi atau tidak. Karena skalanya, skala mikro atau rumah tangga. Tentu merugikan bagi mereka, di mana yang seharusnya berhak tidak mendapatkan.
“Sekali lagi pemerintah ini terlalu birokratis. Tentu kita tidak bisa menyalahkan satu pihak banyak peristiwa banyak faktor yang jelas. Kita perlu membuat ketegasan, bahwa harus ada satu badan yang berhak mengeluarkan data,” ucapnya.
Selama ini hampir semua pihak mengeluarkan data. Seperti data pertanian Kementerian Pertanian mengeluarkan data, kemudian data tentang kondisi sosial, Kementerian Sosial mengeluarkan data. Harusnya menurut undang-undang yang berhak mengeluarkan hanya Badan Pusat Statistik, sehingga tidak ada lagi data pembanding. “Kalaupun diragukan BPS, BPS lah kemudian melakukan validasi supaya rujukan kita satu, kenapa terjadi simpang siur karena rujukannya berbeda beda,” demikian. (dpi)