Mataram (Inside Lombok) – Bantuan pangan dalam bentuk beras kembali digelontor oleh pemerintah pusat mulai pertengahan Januari 2024 ini. Namun diharapkan penyaluran bisa tepat sasaran, sehingga masyarakat yang benar-benar membutuhkan menjadi penerima bantuan tersebut.
Anggota Komisi V DPRD NTB, Saepuddin Zohri menilai agar penyaluran bantuan pangan tepat sasaran maka akurasi data penerima bantuan menjadi kunci utama. Pasalnya, sejauh ini data yang ada belum banyak diperbaharui, sehingga para penerima bantuan seringkali orang yang sama, tanpa melihat peningkatan status ekonominya.
“Pembaruan data penerima manfaat ini mutlak dilakukan, sehingga penerima ter-up date. Data ini kan tidak pernah diolah lagi, dan kenapa saya bilang tidak pernah diolah lagi, sebab orang-orang yang menerima bantuan hanya orang-orang itu saja,” ungkap Zohri, Kamis (11/1).
Lebih lanjut, ia menilai setiap 3-4 bulan data itu mestinya ditinjau ulang sehingga ada pembaruan. Artinya penerima bantuan itu bisa saja berkurang atau bertambah. Karena ada saja kemungkinan bisa terjadi hal seperti taraf ekonomi masyarakat penerima sudah lebih baik dari sebelumnya.
“Jika dalam pendataan ulang itu terdapat warga yang perekonomiannya membaik maka secepatnya diganti dengan masyarakat yang benar-benar miskin. Sehingga nantinya akan ada pemerataan di lapangan,” ucapnya.
Ditambahkan, dengan tersalurkannya bantuan pangan yang tepat sasaran adalah hajatan bersama dalam mengurangi beban warga miskin di tengah masih tingginya harga beras. “Orang yang sudah meninggal masih ada data penerima bantuan. Nah inilah yang harus dirapikan sehingga program apapun namanya yang digelontorkan benar-benar untuk peruntukannya,” terangnya.
Sebelumnya, Pekerja Sosial Ahli Muda Dinas Sosial Provinsi NTB, Sirajul Muttaqin menerangkan, untuk kesiapan dari pemerintah untuk penyaluran bantuan pangan ini masih dalam proses. Karena bantuan pangan dari 2023 berlanjut hingga ke 2024, sesuai dengan instruksi presiden untuk memberikan bantuan pangan melalui badan pangan nasional (bapanas), dengan jumlah 600 ribuan lebih keluarga penerima manfaat.
“Untuk data sekarang, dia dari data DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial), kemudian data dari Desa yang mengusulkan. Data P3KE untuk kemiskinan ekstrim, terus data dari BKKBN. Jadi banyak data yang digunakan untuk KPM itu,” ujarnya. (dpi)