32.5 C
Mataram
Sabtu, 23 November 2024
BerandaEkonomiEfek Kenaikan Pajak Hiburan, Industri Pariwisata NTB Bisa Gulung Tikar

Efek Kenaikan Pajak Hiburan, Industri Pariwisata NTB Bisa Gulung Tikar

Mataram (Inside Lombok) – Melalui Undang-Undang No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), pajak hiburan tertentu dipatok 40-75 persen. Kenaikan tarif pajak hiburan atas karaoke, kelab malam, bar, diskotik dan spa menjadi polemik. Pasalnya kenaikan ini berdampak bagi industri pariwisata, tidak terkecuali di NTB, yang mungkin gulung tikar akibat kebijakan itu.

Beberapa industri pariwisata, seperti pengusaha hiburan menolak kenaikan tarif pajak hiburan ini lantaran dinilai bisa mematikan bisnis. Di mana besaran pajak ini dibayarkan oleh konsumen dengan pajak hiburan sebesar 40-75 persen itu dinilai akan membuat bisnis sepi lantaran tidak banyak yang berkunjung.

“Efeknya jelas mengganggu, karena itu adalah sarana penunjang pariwisata, itu sebagai daya tarik pariwisata. Jadi kalau pajak naik ya repot, karena para wisatawan kita bukan cuma tidur saja di hotel, mereka juga cari hiburan. Arahnya bisa gulung tikar,” ungkap Ketua Kehormatan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) NTB, I Gusti Lanang Patra, Selasa (23/1).

Menurutnya, kenaikan tarif pajak hiburan ini bisa saja menghambat masa pemulihan bisnis pariwisata di NTB yang sebelumnya terdampak gempa 2018 dan pandemi Covid-19 yang berlangsung cukup lama. Kemudian kunjungan wisatawan akan menurun karena orang berpikir dua kali untuk berwisata jika dikenakan pajak yang cukup tinggi.

“Arus kunjungan wisata menurun, maka PAD (Pendapatan Asli Daerah) kita menurun. Kita harus melobi lobi informasi ke pemerintah daerah, DPRD yang membuat perda dan sebagainya, ini erat kaitannya dengan kunjungan wisata,” jelasnya.

Sebelumnya, Ketua Asosiasi Pengusaha Hiburan (APH) Senggigi, Suhermanto menilai memberatkan kebijakan pengenaan tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) sebesar 10 persen menjadi minimal 40 persen dan maksimal 75 persen. Pasalnya bisa saja mematikan usaha hiburan yang ada.

Hampir seluruh pengusaha hiburan yang terkena langsung dengan kebijakan tarif pajak minimal 40 persen ini menolak. Karena dianggap akan mematikan usaha yang saat ini tengah dalam recovery akibat ekonomi yang tidak menentu. Pungutan-pungutan pajak ini sangat mempengaruhi dunia usaha untuk survive.

“Ini kayaknya bukan penerapan pajak, tapi ini membunuh kegiatan usaha. Tarif pajak sebesar 10 persen saja, hanya 19 tempat hiburan yang masih bertahan dari 27. Karena mengelola usaha hiburan itu tidak sederhana,” ujarnya. (dpi)

- Advertisement -

- Advertisement -

Berita Populer