Mataram (Inside Lombok) – Generasi Z atau Gen Z menjadi kelompok paling rentan terkena kejahatan keuangan ilegal. Pasalnya kelompok muda yang akrab dengan dunia digital ini kini menjadi target empuk. Ketergantungan tinggi pada gawai dan interaksi masif di ranah digital menjadi celah utama. Modus penipuan bertebaran di berbagai platform, menyasar mereka yang lengah.
Plt. Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi, M. Ismail Riyadi menerangkan kondisi ini harus diwaspadai, agar Gen Z tidak menjadi korban kejahatan keuangan ilegal seperti investasi bodong maupun pinjaman online (pinjol) ilegal. “Pertama kita tau demografi kita 27,94 persen adalah Gen Z (mendominasi populasi indonesia). Mereka paham tentang itu (kejahatan keuangan ilegal, Sehingga salah satu hal yang penting adalah bagaimana memberikan edukasi kepada mereka agar jangan sampai kena modus modus penipuan,” ujarnya, Senin (26/5).
Ismail mengakui, karena tuntutan hidup yang menjadi faktor penting, sehingga Gen Z sangat rawan terkena kejahatan keuangan ilegal. Di mana tekanan sosial yang akrab dengan anak muda juga turut andil. Prinsip You Only Live Once (YOLO), Fear of Missing Out (FOMO) dan Fear of Other People’s Opinion (FOPO). “Akhirnya mereka mencari cara singkat dengan pembiayaan-pembiayaan yang ditawarkan, bisa jadi itu ilegal atau bisa jadi itu bukan kebutuhan dia. Karena kunci sebenarnya, masih butuh atau tidak, (pembiayaan, Red),” terangnya.
Kemudahan akses digital menjadi pedang bermata dua. Hanya dengan beberapa langkah mudah, Gen Z bisa terperosok ke dalam lubang penipuan. Ironisnya tak jarang orangtua mereka bisa saja menjadi korban. “Contohnya, ada di beberapa daerah yang misalkan hanya menggunakan KTP dari orangtua, jadi si anak minta orang tua untuk foto dengan KTP. Padahal nantinya orangtua yang akan terkena atau tercatat sebagai penerima dananya dan kemudian tau-tau tiap bulan harus ditagih. Orangtuanya bingung, ternyata digunakan oleh anaknya,” bebernya.
Untuk itu, Gen Z menjadi bagian yang harus terus menerus dilakukan edukasi literasi keuangan, karena paparan mereka akan kejahatan keuangan ilegal ini sangat cepat dari kalangan yang lainnya. Jika tidak dicegah, maka akan ada resiko bisa mengintai Gen Z sangat besar, bahkan bisa berujung pada kelebihan utang seperti yang terjadi di beberapa negara lain.
“Apa yang disebut dengan kelebihan hutang atau kebanyakan hutang, jadi bukan yang merupakan kebutuhan primer dari dia. Harapan kita didalam edukasi itu adalah menyiapkan masa depannya dia. Lebih banyak menabung dan berinvestasi bukan pada kelebihan hutan itu tadi,” imbuhnya.
Dalam hal ini, kewaspadaan menjadi benteng terkuat. Ada beberapa trik jitu yang diberikan oleh pihak OJK untuk mencegah Gen Z ini menjadi korban kejahatan keuangan ilegal. Diantaranya, melapor ke SATGAS PASTI (Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal). Kedua, OJK terus berkoordinasi dengan SATGAS PASTI untuk memblokir berbagai aduan laman ataupun kanal yang menawarkan produk pinjol ilegal. Ketiga paling penting adalah harus menjaga data pribadi dan tidak memberikan kepada orang lain.
“Ada satu tips sederhana, yaitu kalau industri keuangan itu tidak mungkin menelpon kita dan menanyakan berbagai data pribadi kita secara langsung, jadi kalau ada permintaan seperti itu, kita yakin bukan dari industri keuangan,” katanya.
Sementara itu, jika ada keraguan, masyarakatlah yang berinisiatif menghubungi pihak industri keuangan itu secara langsung. “Kejadian yang seperti itu, biasanya kita merasa panik sehingga menyampaikan OTP, data diri, dan sebagainya. Maka dari itu perlu ditingkatkan kewaspadaan,” demikian. (dpi)