Mataram (Inside Lombok) – NTB dengan produksi berasnya yang cukup melimpah telah menjadi lumbung pangan penopang daerah lainnya yang defisit beras. Namun sayangnya harga beras masih terbilang tinggi, yaitu di kisaran Rp13-14 ribu per kilogram (kg). Kondisi itu diduga lantaran banyak beras hasil produksi petani justru dikirim ke luar daerah.
Tingginya harga beras itu pun tercatat menyumbang lonjakan inflasi di NTB pada September 2023 lalu. “Kenapa lumbung pangan ini terjadi kenaikan beras? Karena produksi ini menurun sekarang dan ada yang dikirim ke luar daerah (gabah, Red). Kita tidak bisa menahan, karena ini kan ketentuannya pasar bebas,” ungkap Kepala Dinas Ketahanan Pangan (DKP) NTB, Abdul Aziz saat ditemui di kantor, Jumat (13/10).
Kendati, ia menyebut tingginya harga beras tidak hanya dialami di NTB saja, melainkan hampir seluruh daerah di Indonesia. NTB sebagai lumbung pangan untuk mengatasi kondisi tersebut, pemerintah dalam hal ini mempunyai gerakan menekan harga beras.
“Pertama menyalurkan bantuan pangan kepada keluarga penerima manfaat selama 3 bulan, sebanyak 10 kg setiap bulan. Kedua OP (operasi pasar) setiap hari di pasar yang dilakukan oleh Bulog di seluruh pasar di NTB,” katanya.
Ketiga, dari DKP dengan adanya dana dari Badan Pangan Nasional (BPN) untuk melaksanakan Gerakan Pangan Murah (GPM), supaya menjaga ekspektasi konsumen. Sehingga tidak beranggapan bahwa tidak pangan ataupun tidak beras, padahal sebenarnya ada. “Cuma kan spekulasi lagi kembali ke pasar, oleh penjual di pasar ini dijual dengan harga Rp13-15 ribu sesuai kualitas (berasnya, Red),” ucapnya.
Aziz mengakui NTB memang merupakan daerah lumbung pangan, berdasarkan data Dinas Pertanian NTB memiliki lahan sawah sekitar 270 ribu hektare dan produksi 1.300 ton setara gabah dana 900 ton setara beras. Namun NTB masih mengalami surplus beras, karena kebutuhan masyarakat NTB per tahunnya 600 ton beras.
“Menurut Pimwil (Pimpinan Wilayah) Bulog ini serapan gabah itu di atas 10 persen, kemudian oleh petani dijual kepada pengusaha. Pengusaha ini datang dari Jawa timur. Walaupun ada Peraturan Gubernur Nomor 33/2023 tentang pengawasan dan pengendalian gabah keluar daerah, tetapi ini kan belum efektif,” jelasnya.
Saat ini dari Bulog NTB menyebutkan stok beras yang tersedia 24 ribu dan ketersediaanya cukup untuk 4-5 bulan ke depan. Namun stok ini bukan hanya ada di Bulog, tetapi ada juga di petani serta disetiap tempat penggilingan yang ada. “Di penggilingan mungkin tipis sekali, kalau di petani pasti ada, karena tradisi petani kita di Lombok dan Sumbawa pasti akan menyimpan 4-5 karung untuk persedian mereka setahun,” terangnya.
Sementara, karena tingginya harga beras dan kondisi kemarau panjang yang mengakibatkan produksi berkurang. Lokasi untuk pemetaan rawan pangan di NTB tidak semakin lebar sesuai berdasarkan Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) atau peta ketahanan pangan dan kerentanan pangan.
“FSVA ini kan untuk kabupaten/kota wialyahnya desa, provinsi wilayahnya kecamatan. Di provinsi tugas kita ada di dua kecamatan, yakni Batu Layar dan kecamatan di Bima. Dua kecamatan itu yang kita intervensi diberikan bantuan pangan,” tandasnya. (dpi)