Mataram (Inside Lombok) – Belakangan marak penjualan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang kemudian disalahgunakan oknum untuk mengakses pinjaman pada perusahaan pembiayaan. Hal ini merugikan nasabah itu sendiri dan perusahaan, sehingga perlu diperkuat model analisis dalam penyaluran pembiayaan kepada nasabah.
Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) NTB, Rico Renaldi mengatakan pihaknya sudah menyampaikan bahwa model analisis dan keyakinan perusahaan pembiayaan terhadap nasabah harus diperkuat. Artinya tidak hanya sekedar mengejar bagian saja, tetapi dilakukan penilaian kostumer.
“Dia (perusahaan pembiayaan, Red) harus paham bahwa nasabah ini benar untuk membeli barang tersebut. Baik itu motor maupun mobil, dia yakin bahwa nasabah itu punya kemampuan untuk itu (membayar). Makanya untuk mendalami nasabah itu melalui analisa dan survei,” ujar Rico, Rabu (20/12).
Jika perusahaan hanya sekedar mengejar posisi target, dikhawatirkan akan memberikan kredit atau pinjaman pada nasabah yang bahkan tidak memenuhi kriteria hingga terjadi tunggakan saat pembayaran. Hal itulah yang bisa menjadi bumerang bagi perusahaan.
“Kami selalu ingatkan agar melakukan analisa dengan benar dan di lakukan investigasi terhadap calon nasabah itu dengan lebih dalam. Karena bagaimanapun juga itu berarti ada kelemahan di situ (sistem perusahaan, Red),” terangnya.
Perusahaan penyedia pembiayaan diharapkan menerapkan 5C untuk mengambil nasabah. Antara lain dengan melihat character, capability, capital, conditions, dan cuartel.
“Sebenarnya di situ kemungkinan besar lebih ke finance-nya yang lalai, untuk tidak mengetahui nasabahnya secara utuh. Nah tapi bagaimana pola di lapangan juga nanti kita dalami juga,” tuturnya.
Sedangkan untuk kasus penjualan KTP dari OJK NTB belum menerima laporan langsung dari nasabah itu sendiri. Karena yang melaporkan finance dan mereka yang bersangkutan. Tetapi disisi lain ada juga kerugian dialami oleh nasabah karena sudah tercatat di dalam sistem layanan informasi keuangan (SLIK).
Sebelumnya, Ketua APPI NTB Iwan Hermawan mengatakan, setelah covid-19 ini tren pembiayaan selaras dengan pertumbuhan ekonomi. Hanya ada beberapa resiko yang dihadapi oleh Perusahaan. Jika di NTB masyarakatnya banyak menjadi korban TPPO (tindak pidana perdagangan orang), sedangkan di perusahaan pembiayaan dikenal dengan tindak pidana perdagangan KTP.
“Karena KTP itu bisa dipinjam dengan harga 1,5 sampai 3,5 juta itu untuk roda dua. Belum roda empat pasti lebih gede. Sekarang ini kita juga menggandeng Subdit II Ditreskrimsus Polda NTB untuk membantu menangani kasus ini,” ujarnya. (dpi)