Mataram (Inside Lombok) – Serapan beras petani di NTB yang dilakukan Badan Urusan Logistik (BULOG) NTB tercatat hingga 15 April 2023 mencapai 25.383 ton setara beras, terdiri dari 17.207 ton gabah dan 14.456 ton beras. Padahal target di 2023 sebanyak 200.000 ton setara beras bisa terserap.
“Sudah terserap 25 ribu ton lebih. Kalau dikurangi 18 ribu ton beras bantuan, maka masih terdapat sisa yang cukup banyak. Target 200 ribu ton ini cukup besar,” ujar Pimpinan Wilayah Perum Bulog NTB, David Susanto, Senin (17/4).
Meskipun target serapan Bulog NTB cukup besar, hal itu disebutnya menjadi bentuk kepercayaan pemerintah pusat bahwa Bulog NTB sangat mampu untuk merealisasikannya. “Sarana dan prasarana termasuk potensi daerah untuk panen sangat bagus. Taruhlah target utama nasional adalah 2,4 juta ton. Tapi berapapun besar target yang diberikan, maka ini menjadi kepercayaan pusat dengan kita,” terangnya.
Diakuinya untuk perdagangan beras saat ini tidak ada larangan, termasuk untuk penjualan lintas provinsi dan lintas pulau. Namun semua pemerintah daerah mengupayakan agar gabah khususnya di NTB tidak dijual ke luar daerah.
“Makanya itu Bulog bersama dengan beberapa anggota Perpadi berdiskusi, terutama penggilingan kelas menengah kebawah akan mengurangi pekerjaan,” tuturnya. Dikatakan, penggilingan kecil akan terdampak dengan gabah ke luar daerah sebab akan mengurangi pekerjaan mereka.
Masalah kemudian muncul jika gabah yang dikirim ke luar. Pasalnya, hal itu akan membuat tempat penggilingan padi di daerah tidak akan penuh. “Dalam satu tahun, misalnya 10 bulan itu belum tentu (beroperasi), rata-rata sekitar 6-8 bulan operasional, kemudian 4 sampai 6 bulan rata-rata mereka menunggu panen berikutnya,” ucapnya.
Kendati, saat ini sudah ada Peraturan Gubernur (Pergub) terkait dengan larangan gabah ke luar, maka dengan begitu diharapkan penggilingan tetap hidup atau beroperasi. Jika ini berjalan maka secara otomatis tenaga kerja berjalan. Apalagi panen padi di NTB masih banyak, ada beberapa wilayah hampir selesai dan ada yang baru awal panen.
“Sangat bagus kalau polanya panen tidak serentak. Jadi bergilir mungkin antar kabupaten itu berbeda-beda sehingga harga itu tidak jatuh,” jelasnya.
Selain itu, untuk menjadi penyeimbang sehingga pada waktu panen raya. Maka jangan sampai harga di tingkat petani maupun penggilingan jatuh di bahwa Harga Pembelian Pemerintah (HPP).
“Itu yang kita jaga tapi kalau posisi diatas HPP ya sudah. Kita tidak mau berebut dengan pihak swasta dan lainnya,” pungkasnya. (dpi)