Mataram (Inside Lombok) – Tanaman sorgum NTB akan dikembangkan menjadi bioetanol. Proyek ini melibatkan PT. Pertamina yang akan bekerja sama dengan Universitas Mataram (Unram) untuk pengembangan areal sorgum yang akan menjadi bahan baku pembuatan bahan bakar alternatif itu.
Tim peneliti Unram, Suwarji mengatakan dalam waktu dekat pihaknya akan menandatangani kontrak antara Pertamina dengan Unram. Di mana setidaknya dibutuhkan lahan 36 hektare untuk menghasilkan 6 ribu liter bioetanol.
“Ini sebagai pilot projek dalam setahun ke depan bersama Pertamina, ditargetkan bisa diproduksi 6 ribu liter bioetanol,” ujar Suwarji, Kamis (13/7). Dijelaskan, untuk menghasilkan bioetanol dari sorgum ini dibutuhkan batangnya kemudian diperas dan difermentasi. Sedangkan ampasnya bisa dijadikan pakan ternak, dan bijinya bisa dijadikan bahan baku pangan.
“Mesinnya sudah ada di Unram. Sorgum menjadi salah satu alternatif bagi petani. Nilai ekonomisnya lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman jagung,” terangnya.
Untuk bisa menghasilkan tanaman sorgum yang mencukupi kebutuhan produksi, nantinya dalam skala besar pihak Pertamina rencananya akan mendorong pengembangan lahan sorgum di dua provinsi, NTB dan NTT. Pabrik bioetanol dengan kapasitas yang lebih besar pun akan dibangun jika ketersediaan bahan bakunya melimpah.
Saat ini pengembangan lahan sorgum sudah mulai dilakukan salah satunya bersama Balai Wilayah Sungai (BWS) NT I yang memanfaatkan lahan Bendungan Batujai seluas 34 hektare. Kemudian di Pujut dikembangkan 40 hektare, Lombok Timur tersedia potensi ratusan hektare, Kabupaten Sumbawa Barat tersedia lahan 100 hektare serta Lombok Utara dan daerah-daerah lainnya di NTB.
“NTB ini dianggap potensial untuk pengembangan sorgum. Sekarang sedang dicari polanya untuk kemitraan petani sorgum,” terangnya. Proyek ini dinilai penting, mengingat pemerintah menargetkan bisa bebas emisi karbon di 2060 mendatang, dan NTB menargetkan lebih cepat yaitu di 2050.
Jika proyek ini berhasil, akan membantu peralihan dari bahan bakar fosil ke bahan bakar alternatif. “2030 sudah tidak boleh lagi ada bahan bakar dari batu bara. Kaitannya dengan itu juga, produksi bioetanol ditingkatkan untuk penggunaan bahan bakar ramah energi,” imbuhnya.
Sebagai informasi, bioetanol dianggap energi terbarukan yang bisa mengurangi peran dari bahan bakar fosil. Bioetanol sendiri telah mendapat perhatian dalam transisi ke ekonomi rendah karbon.
Bioetanol dibuat dengan teknik fermentasi biomassa seperti umbi-umbian, jagung atau tebu dan dilanjutkan dengan destilasi. Jenis bioetanol ini dapat digunakan secara langsung maupun tidak langsung sebagai bahan bakar. (dpi)