Mataram (Inside Lombok) – Data Badan Pusat Statistik (BPS) NTB sudah digunakan sebagai rujukan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB dalam menganalisa perkembangan ekonomi daerah. Baik data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) maupun data sensus pertanian. Dengan basis satu data yang digunakan akan memudahkan pemerintah mengetahui pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di NTB.
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang pengelolaan data, dalam Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2019. Di mana secara khusus mengatur tentang Satu Data Indonesia (SDI) yang menegaskan kembali peran data sebagai dasar perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, hingga pengendalian pembangunan.
“Alhamdulillah pemprov NTB, kabupaten/kota mensupport penuh membangun basis data yang kuat, melalui satu data ini dan tentu melalui instansi teknis terkait baik itu diskominfotik terus berjibaku dengan statistik sama-sama melengkapi menyempurnakan basis satu data ini,” ujar Staf ahli Gubernur Bidang Pemerintahan dan Aparatur, Politik, Hukum, dan Pelayanan Publik, Yusron Hadi, Selasa (26/9).
Dikatakan, dengan adanya satu data ini tentunya akan menghasilkan data yang berkualitas. Karena memang data-data yang digunakan merupakan representasi dari kondisi masyarakat di lapangan seperti apa. Sehingga sejalan dengan visi BPS memberikan data yang berkualitas.
Sementara, Kepala BPS NTB Wahyuddin mengatakan saat ini data-data yang dihasilkan oleh BPS NTB, seperti Regsosek dan sensus pertanian menjadi rujukan Pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota. Bahkan pihaknya telah bekerjasama dengan BAPPEDA dalam menganalisa perkembangan ekonomi yang terkait dengan sektor penyumbang.
“Kami lakukan analisis dan sudah kami sampaikan. Ada pertanian dan tambang, yang mana pertanian tanpa tambang itu sharenya kita tau sendiri besar, bisa lebih 20-21 persen terhadap PDRB kita,” ujarnya.
Lebih lanjut, tambang ini penyumbang nomor dua setelah pertanian. Untuk pertanian penyumbang pertumbuhan ekonomi paling besar, dengan besar 22 persen. Meskipun tambang besar, tetapi yang menikmati tidak semua masyarakat. Jadi istilahnya ini adalah pertumbuhan ekonomi yang tidak inklusif.
“Kalau yang menyangkut masyarakat banyak, sektor pertanian, industri dan perdagangan, itu yang harus kita dilihat. Apalagi industrialisasi diminta di 2024 memberikan kontribusi 8-10 persen, sebelumnya sekitar 4-5 persen,” terangnya.
Untuk itu Dinas Perindustrian juga meminta BPS untuk memberikan masukan masukan terkait perkembangan industrialisasi. Makanya mereka meminta dalam program mereka ke depan ini bisa 8-10 persen sumbangan industri.
“Kami memberikan pendapat, kalau industri tetap seperti ini tidak akan sampai segitu. Yang harus dilakukan, salah satunya coba bangun sentra-sentra industri dan siapa pembelinya. Tidak hanya membuat produk tapi tidak laku,” ucapnya.
Untuk itu pada kegiatan Hari Statistik Nasional (HSN) tahun 2023 ini, diharapkan BPS semakin bangkit agar menghasilkan data yang berkualitas. Sehingga bisa digunakan oleh Pemprov NTB sebagai rujukan dalam pendataan, ekonomi, kemiskinan, dan lainnya. “Makanya kami mengusung tema “Statistik Berkualitas untuk Indonesia Maju, itu hanya kita junjung tinggi,” demikian. (dpi)