Mataram (Inside Lombok) – Harga beras di pasaran NTB belakangan mengalami kenaikan cukup tinggi, tembus hingga Rp16 ribu per kilogram (kg) untuk kualitas medium. Bahkan di pengecer harga beras mencapai Rp17 ribu per kg. Tingginya harga beras ini diduga lantaran produksi yang berkurang di beberapa bulan ini. Kondisi itu pun banyak dikeluhkan masyarakat.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) NTB, Wahyudin mengatakan pada Januari – Februari 2024 ini produksi gabah dan beras hanya ada di sebagian kecil di wilayah tertentu di NTB, sehingga potensi produksinya tidak banyak. Padahal di Januari – Maret potensinya untuk menambah produksi. Namun melihat kondisi cuaca kemarau panjang membuat masa tanam mundur.
“Jadi Januari – Februari memang kecil, dengan demikian produksi dengan pasti berkurang dari kebutuhan. Tetapi kami masih punya stok, stok produksi yang lama, yang dari kegiatan dari penanaman sebelumnya. Stok itu ada di mana? Ada di Bulog dan sebagian di pedagang-pedagang pengepul itu,” ujar Wahyudin, Senin (19/2).
Stok beras dan gabah tersebut yang sekarang dikeluarkan karena banyak permintaan, maka hukum ekonomi pasti berlaku. Meskipun stok terbatas, dari pengepul atau pedagang tidak bisa serta merta semua dikeluarkan, tentunya mereka berpikir karena jika dikeluarkan akan mempengaruhi harga.
“Maka dari itu, dengan dikeluarkan stok dari bulog dan sudah dikeluarkan juga, kemudian ada Operasi Pasar segala macam untuk menyerap harga beras di lapangan,” terangnya.
Bulog NTB di 2023 menargetkan stok sebanyak 200 ribu ton. Sayangnya,target tersebut tidak tercapai. Mengingat di 2023 kemarin kondisi cuaca kemarau cukup panjang sehingga berdampak pada musim tanam dan panen. “Saya sudah ingatkan dulu, kalau tidak mengambil subround (triwulan) satu dan subround dua ini, maka tidak mencapai target. Karena disitulah tempatnya berproduksi,” terangnya.
Sebagai informasi, data BPS NTB yang dirilis pada 1 November 2023, Jika produksi padi dikonversikan menjadi beras untuk konsumsi pangan penduduk, maka produksi padi sepanjang Januari − September 2023 diperkirakan setara dengan 805,04 ribu ton beras, atau mengalami kenaikan sebesar 45,60 ribu ton (6,00 persen) dibandingkan Januari−September 2022 yang sebesar 759,44 ribu ton. Sementara itu, potensi produksi beras sepanjang Oktober − Desember 2023 ialah sebesar 75,95 ribu ton.
Dengan demikian, total produksi beras pada 2023 diperkirakan sekitar 880,99 ribu ton, atau mengalami kenaikan sebesar 53,47 ribu ton (6,46 persen) dibandingkan produksi beras pada 2022 yang sebesar 827,52 ribu ton. Produksi beras tertinggi pada 2023 terjadi di Maret, yaitu sebesar 233,71 ribu ton. Sementara itu, produksi beras terendah diperkirakan terjadi pada bulan Desember, yaitu sebesar 18,75 ribu ton.
Menurut Wahyudi, jika harga beras terus-terus naik maka dampaknya otomatis akan mempengaruhi inflasi, akibatnya daya beli masyarakat pasti menurun, apalagi masyarakat yang berpenghasilan tetap. Padahal sebelumnya diperkirakan Maret itu sudah ada yang mulai panen, namun ternyata justru mundur. Artinya untuk menekan harga tidak tinggi dan tidak berpengaruh terhadap daya beli masyarakat, maka dilakukan operasi pasar.
“Yang jelas harus dilakukan OP dari masing masing pemerintah kabupaten/kota, itu yang bisa kita lakukan selama ini. Kita belum pernah ada image, kita mengimpor karena stok pangan kita masih mencukupi. Produksi beras selama satu tahun tercatat surplus, BPS sudah menghitung. Hanya saja di bulan-bulan tertentu jika dikaitkan dengan produksi pasti akan minus. Karena kebutuhan kita yang tadinya 45 ribu ton ditambah produksinya 20 ribu, pastikan berkurang 25 ribu ton lagi,” demikian. (dpi)