Mataram (Inside Lombok) – PT Pertamina buka suara terkait dengan pernyataan dari Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha (KPPU) menyebutkan penyebab harga tiket mahal karena harga biaya bahan bakar minyak (BBM) atau avtur. Bahkan ada dugaan bahwa bisnis avtur dimonopoli oleh Pertamina, padahal penjualan avtur sendiri sudah sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Ramainya persoalan ini tentunya menjadi perhatian, begitu juga di NTB. Apalagi NTB sebagai daerah pariwisata, maka mau tidak mau harga avtur berpengaruh terhadap kunjungan wisatawan.
“Elemen penyusunan harga tiket pesawat itu untuk avtur itu sekitar 20-35 persen tergantung maskapai, selebihnya yang berpengaruh besar adalah SDM nya. Avtur seakan akan hanya jadi point menentukan harga tiket. Balik lagi ini kebijakan pusat,” ungkap Area Manager Comm Rel amp CSR PT Pertamina Patra Niaga Regional Jatimbalinus, Ahad Rahedi, Selasa (20/2).
Ahad mempertanyakan aspek keadilan jika satu pihak yang diminta menyesuaikan harga avtur karena berpengaruh terhadap harga tiket. Diakui hal itu memang berpengaruh, tapi poinnya tidak sepenuhnya soal avtur, melainkan harus dilihat lebih dalam lagi dan tidak pada satu sisi saja. Pasalnya, jika harga avtur harus turun padahal merupakan barang b to b. Di mana dijual kepada pebisnis dan memang harus menguntungkan bukan merugikan karena avtur bukan barang subsidi.
“Satu sisi pada saat harga tiket tinggi kemudian dituding menjadi salah satu penyebab turunnya kunjungan suatu daerah, ya pertamina menggap itu keterlaluan,” tambahnya. Menurutnya, dalam hal ini harus dilihat sama-sama dahulu baru dan tidak begitu saja menudingkan adanya monopoli tersebut. Padahal kenyataan tidak ada bisnis to bisnis yang mau merugi, tentunya semua ingin ada keuntungan.
“Harga avtur yang tertera sekarang itu tidak menyalahi aturan penetapan Kementerian, ada Permen (Peraturan Menteri) penyusunan harga berapa batas atas dan bawah sesuai dengan aturan pemerintah. Cuma balik lagi, tidak ada swasta yang mau ambil resiko untuk bisnis avtur,” jelasnya.
Dikatakan belum lama ini ada salah satu lembaga menyebutkan bahwa monopoli bisnis avtur dilakukan oleh Pertamina. Padahal, untuk avtur sendiri tidak ada subsidi, artinya murni bisnis to bisnis antara pertamina dengan sebuah perusahaan maskapai. Dimana yang maskapai yang beli avtur itu tidak hanya terbatas di pengisian bandara-bandara besar saja. Bahkan ada bandara kecil yang membutuhkan avtur, seperti di Bima.
“Satu sisi perusahaan swasta yang memang mau masuk ke avtur itu hanya mau mengambil di bandara besar. Jadi ada tudingan monopoli bisnis avtur pertamina kan nggak fair juga,” terangnya.
Dijelaskan swasta yang mau bisnis avtur mereka tidak mau melakukan pengisian untuk bandara-bandara kecil. Sehingga dari pertamina yang masuk ke bandara-bandara kecil ataupun perintis. “Ya kalau kita tidak masuk kesana, ya kemudian siapa yang masuk kesana. Siapa yang mau melayani bandara bandara kecil. Saat swasta tidak mau masuk kesana. Kemudian pertamina kewajibannya menjaga ketersedian sampai ke pelosok terus dituding monopoli,” demikian. (dpi)