Belakangan, saya dan teman-teman sebaya sering membahas kondisi psikis masing-masing, dan yang paling sering muncul sebagai topik bahasan adalah krisis seperempat abad (quarter life crisis). Menurut Wikipedia, itu adalah istilah psikologi—khususnya keadaan emosional masyarakat usia 18 s.d. 30—yang didominasi oleh rasa khawatir, ragu atas kemampuan diri, serta kebingungan terhadap masa depan diri sendiri. Apakah pembaca di sini, ketika ada di rentang usia itu, merasakan hal serupa di atas?
Saat ini saya sedang berada di keadaan tersebut, dan kerap memanen rasa stres yang ternyata telah tertanam sejak kecil/remaja. Mereka merupakan bibit harapan yang gagal tumbuh menjadi kenyataan di dunia nyata. Selain memanen stres dalam diri sendiri, saya pun—secara tak sadar—melakukan “bunuh diri” dengan sibuk membandingkan antara kehidupan diri sendiri dan orang lain (yang tampak) di media sosial. Rasanya hari-hari ini dipenuhi kegagalan, dihantui oleh pencapaian dan prestasi orang lain; sementara diri sendiri belum mencapai apa-apa yang mereka telah capai.
That’s toxic! Ya, se-toxic itulah saya dulu terhadap diri sendiri bilamana melalui krisis seperempat abad. Namun, lambat laun saya belajar bahwa itu tidaklah muncul setiap saat, melainkan sebuah fase. Ada masanya saya sangat stres, agak tenang, stabil, lalu goyah, dan akhirnya stres lagi. Saya rasa itu hal yang wajar, _sih, asal tidak membiarkan diri terlalu larut pada level terendah dari gelombang stres itu.
Tidaklah mudah, pun tidak gampang, untuk pada akhirnya tiba di titik, “Ya sudahlah…” Seperti yang banyak dialami juga oleh orang-orang, setelah lelah bergelut dengan diri sendiri, berlomba dengan pencapaian orang lain dalam perlombaan yang dibuat-buat oleh diri sendiri, pada akhirnya kita akan terduduk lelah dan menghela nafas panjang; ingin menyerah tapi masih terus ingin berusaha. Yah, pada beberapa orang, perasaan itu mungkin timbul karena rasa lelah yang butuh merebah, bukan lelah lalu menyerah.
Bagi saya, yang kini telah menyadari fase stress dalam diri, menulis jurnal merupakan tahapan lanjut untuk mencapai kesadaran penuh. Saya punya catatan: kapan gelombang stres itu datang beserta pemicunya. Ya, yang dicatat adalah pemicu, bukan penyebab. Saya percaya bahwa apa yang terjadi merupakan sebuah akibat dari suatu sebab, dan seringkali kita tak bisa—atau butuh waktu yang cukup lama—untuk melacak penyebab. Salah satu cara melacaknya ialah mencatat pemicu—yang diibaratkan bom waktu. Nah! Selanjutnya, kita dapat benang merah serta peta gambaran: apa penyebab dari ragam pemicu tersebut.
Apakah hal di atas mudah dijalankan? Tentu saja tidak. Berusaha kembali baik-baik saja dan stabil itu lelah sekali. Belajar dari proses mencatat tersebutlah saya pun menyadari bahwa sebagian besar rasa sakit dan kondisi tidak stabil itu muncul akibat akibat perbuatan gegabah diri sendiri. Konsekuensinya, lya, harus tanggung sendiri. Eits, tanggung sendiri bukan berarti tidak boleh meminta bantuan dari orang lain, lho. Manusia, sebagai makhluk sosial, tentu diciptakan untuk tidak hidup sendiri, alias pasti akan butuh orang lain juga.
Dalam keadaan tidak baik dan tidak bisa saya tanggulangi sendiri, saya butuh teman untuk memvalidasi apa yang saya rasakan dan alami. Saya butuh semacam rasionalisasi akan hal yang saya rasa irasional, dan bersyukurlah saya memiliki teman yang tepat. Menemukan seorang kawan—atau lebih—yang dirasa cocok untuk saling mencurahkan isi hati (curhat) pun penting. Bagi saya, sungguh menenangkan dan melegakan dapat menceritakan hal-hal yang membuat saya khawatir, dan teman saya pun memahaminya dengan luar biasa baik.
Sesekali, dia menghubungi saya duluan; menanyakan kabar, lalu pada intinya ingin memperbaiki bagian yang sudah cedera dalam diri saya. Kali lain, saya yang menghubunginya lebih dulu. Saya tentu bahagia karena dimengerti dan tidak dianggap aneh, apalagi mengada-ada. Dia mendengarkan (membaca, lebih tepatnya, karena kami saling berkirim pesan) dengan sabar, lalu menanggapi dengan jujur.
Sampai di satu titik, dia berkata, “Kamu perlu konsultasi ke ahli profesional. Kamu butuh penenang. Please.” Di situ saya kurang percaya, dong. “Ah, masa saya bisa separah dan seserius itu, sih? Ini kerjaan otak saya yang terlalu hobi berpikir saja.” Saya pun bersikap denial, dan mencoba untuk stabil sendiri.
Kali berikutnya, saya butuh dia lagi. Saya ceritakan saja semua-semuanya. Perasaan saya, pikiran saya, serta penglihatan saya terhadap diri saya sendiri yang sedang terkulai jatuh di tengah ruangan minim cahaya, berusaha bangkit tapi tak punya energi. Rasanya hopeless.
Setelah panjang bertukar pandangan, dia pun memberi saya tantangan: “Coba katakan dan tuliskan hal-hal yang positif saja. Meski hari itu kamu merasa sangat ambyar, katakan hal-hal yang positif. Ya, kalau perlu, berpura-pura sekalian! Berpura-puralah sampai kepura-puraan itu menjadi hal yang nyata. Saya sudah muak membaca tulisan-tulisan depresifmu. Ingat, bukan hanya perkataan saja yang bisa menjadi doa. Tulisanmu yang dibaca orang lain pun bisa menjadi doa. Kita tidak pernah tahu siapa saja yang mendukung atau yang ingin menikammu. Jadi, katakan dan tuliskan hal-hal yang positif saja! Itu tantangan dari saya. Saya akan mengawasimu.”
Saya merasa tertantang; ada aliran energi yang baik sedang menjalari tubuh saya setelah itu. Maka, saya pun menerima tantangan itu. Setelah menjalaninya beberapa waktu, otak saya seperti di-reset untuk kondisi: hanya berfokus pada hal-hal yang menyenangkan. Karenanya, hati terasa lebih ringan karena tidak lagi menanggung beban perasaan kecewa maupun kesal. Sepekan telah berlalu. Saya masih menjalani tantangan tersebut, dan sejauh ini mampu merasa stabil dan baik-baik saja. Semoga saja sebulan bisa tuntas.
Jadi, jika kamu sedang merasa tidak baik-baik saja, hal itu wajar; tidak apa-apa. Ia akan jadi masalah jika hal itu terjadi berulang dengan durasi yang cukup lama, dan membuatmu merasa hopeless sampai tak punya energi untuk berpikir positif. Jika itu terjadi—semoga saja tidak—sebaiknya ikuti saja cara saya di atas: berfokus pada hal menyenangkan dengan cara berpura-pura bahagia sambil menulis jurnal pemicu—sebagai bentuk refleksi diri.
Semesta akan turut mendukung dan membantu! Oh, saya mempercayai hal yang mungkin agak khayali seperti: setiap kita akan memancarkan energi tertentu, lalu akan direfleksikan kembali oleh semesta atau terefleksikan kepada orang-orang di sekitar kita.
Ketika energi kita melulu negatif, dan itu terpancar ke lingkungan sekitar, ada kemungkinan semesta akan merundung kita dengan energi negatif juga. Mirip efek rumah kaca, ya!
Sebaliknya, jika kita memancarkan energi positif, meski pura-pura, mungkin semesta akan tertipu dan menyelubungi kita dengan energi positif juga! Begitu saja, ya. Semangat!
Amira Amalia, penulis di blog pribadinya dan pengajar—yang ternyata lebih banyak belajar dari murid-muridnya sendiri. Dapat disapa di akun Instagramnya: @aamliaz