“Kalau di tahu kena tuberkulosis (TBC) mulai merasa diasingkan oleh masyarakat bahkan keluarga,” lirih Astuti saat ditemui di rumahnya.
Mataram (Inside Lombok) – Pemerintah pusat menargetkan eliminasi TBC pada 2030 mendatang. Berbagai upaya yang dilakukan salah satunya pemberian obat secara gratis kepada penderita selama enam bulan.
Astuti, salah seorang penderita TBC yang kini sudah sembuh dari penyakit menular tersebut menceritakan, untuk pertama kalinya mengidap penyakit menular tersebut dan tidak tahu tertular oleh siapa. Gejala yang dirasakan sering batuk dan akhirnya memeriksakan diri ke puskesmas dan dinyatakan positif TBC.
“Kaget. Karena kan harus minum obat secara rutin selama enam bulan dan harus pakai masker,” ujarnya. Namun dengan adanya program pengobatan gratis bagi penderita TBC, ia mengaku tidak ada biaya yang dikeluarkan selama berobat.
Sebagai penderita TBC, Astuti pun harus rutin untuk mengkonsumsi obat tersebut dan tidak terputus selama enam bulan. “Kendala kita hanya minum obat itu. Kan harus rutin setiap hari selama enam bulan. Kalau tidak minum sekali maka ulang dari awal,” ungkapnya.
Institut Perempuan untuk Perubahan Sosial (InSPIRASI) NTB adalah salah satu organisasi yang fokus melakukan penanganan terhadap TBC. Penanganan yang dilakukan khususnya kepada kelompok rentan seperti perempuan, anak dan disabilitas. “Untuk menurunkan angka TBC yang harus ditingkatkan adalah pencegahan TBC nya atau TPT,” kata Koordinator Program SSR Mataram, Baiq Winda Ayu Tilarning.
Guna menurunkan angka TBC maka langkah yang dilakukan yaitu meningkatkan upaya pencegahan. Namun upaya ini disebut masih belum maksimal dilakukan. Hal ini terkendala oleh orang berisiko yang enggan untuk memeriksakan diri. “Ini belum maksimal dikarenakan orang yang berisiko salah satunya kontak serumah enggan untuk melakukan pemeriksaan terduga,” katanya.
Pemeriksaan yang dilakukan yaitu melalui memeriksa dahak dan beberapa yang lainnya. Saat ini, NGO, Dinas Kesehatan hingga puskesmas memaksimalkan penemuan terduga menderita TBC di kelompok yang berisiko. Misalnya kos-kosan, asrama, lapas, serta rusunawa.
Selain itu, di posyandu dengan menscreening anak-anak yang turun berat badannya atau berat badan tidak naik kurang lebih selama tiga bulan. “Ini menjadi acuan untuk melakukan pelacakan pada orang tua dan keluarga yang kemungkinan pernah terpapar atau berinteraksi dengan orang TBC,” ungkapnya.
Sementara itu Direktur RSUD Provinsi NTB, Lalu Herman Mahaputra mengatakan kasus TBC dinilai cukup sulit terdeteksi jika dibandingkan dengan Covid-19. “Kalau Covid ini nyata, Sedangkan TBC ini tidak kelihatan,” ungkapnya.
Meski demikian, penyakit menular yang satu ini bisa disembuhkan asalkan penderita bisa mengkonsumsi obat dengan rutin. “Banyak yang tidak sembuh karena tidak sembuh. Drop out (DO) namanya,” katanya.
Tenaga medis diminta untuk lebih gencar lagi sosialisasikan tentang penyakit TBC. Baik edukasi tentang pencegahannya hingga cara penyembuhannya bagi penderita TBC. “Saya berharap TBC bisa sembuh. Asalkan informasi ini sampai melalui puskesmas, pustu makanya kita mulai gerakkan,” ungkapnya.
Fenomena kasus TBC di Indonesia seperti gunung es. Misalnya di Kota Mataram, sudah ada tim khusus untuk penanganan penyakit menular satu ini. Bahkan sudah mendapatkan SK per 19 September lalu yaitu tim Percepatan penanggulangan TBC. Karena berdasarkan data di Dinas Kesehatan Kota Mataram target temuan kasus TBC tahun 2024 ini sebanyak 1.601 kasus. Namun yang baru ditemukan dari Januari hingga Agustus 2024 yaitu sebanyak 1.280 kasus. “Ini yang terdiagnosa di Kota Mataram. Tapi tidak semua warga Kota Mataram,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Mataram, Emirald Isfihan.
Ribuan temuan ini disebut bukan saja warga Kota Mataram melainkan kabupaten dan kota lainnya. Pasalnya, rumah sakit di Kota Mataram merupakan rumah sakit rujukan sehingga pasien yang datang berobat bukan saja warga kota.
“Karena banyak orang yang terdiagnosa di Mataram. Tapi tidak semua warga kota. Kan di Mataram banyak fasilitas kesehatan ada 11 puskesmas, 16 rumah sakit dan klinik juga,” ungkapnya.
Ia mengatakan, di Kota Mataram sudah ada tim khusus yang melakukan penanggulangan terhadap kasus TBC. Dinas Kesehatan menggandeng semua fasilitas kesehatan mulai dari rumah sakit hingga klinik untuk ikut terlibat aktif dalam deteksi dini TBC. “Ini juga untuk memperkuat penanganannya. Ada yang sudah terdiagnosa tapi tidak tahu pengobatannya,” katanya.
Untuk mendeteksi lebih cepat, 11 puskesmas yang ada sudah menggunakan Tes Cepat Molekuler (TCM). Dimana, penderita TBC bisa terdeteksi setelah tiga hari pemeriksaan. “Kalau dulu kan pemeriksaan darah, kalau sekarang ada TCM,” ungkap Emirald.
Di Kota Mataram sudah tersedia Pemeriksaan laboratorium dengan Tes Cepat Molekuler (TCM) di beberapa rumah sakit dan puskesmas. TCM ini merupakan terobosan dalam percepatan penanggulangan TBC dengan mempermudah akses dan mempercepat diagnosis. “Kita ada TCM di Puskesmas tanjung karang, Puskesmas karang taliwang dan di RSUD Kota Mataram jadi sudah tidak hanya tes dahak saja tetapi lebih menyeluruh,” katanya.
Sementara terkait target nasional bisa melakukan eliminasi TBC tahun 2030 mendatang, ia mengatakan sedang diupayakan. Karena Dinas Kesehatan Kota Mataram juga sudah ada target setiap tahunnya untuk penanganan TBC. “Kalau tahun 2024 ini pencapaian screening. Tahun 2024 ini penemuan kasus kita 1.601 kasus,” katanya.
Target penemuan ini ditetapkan karena adanya masyarakat yang tidak tahu dirinya TBC, sehingga dengan mudah menularkannya ke orang lain. Kondisi yang cukup berbahaya karena akan meningkatkan kasus TBC di Kota Mataram. “Yang susah ini kan preventif nya. Jadi orang – orang terkena ini ketika kita belum diagnose maka dia akan terus menularkan ke orang lain karena tidak tahu dirinya TBC,” terangnya.
Untuk mencegah penularan, penderita TBC harus tetap menggunakan masker. Tidak harus melakukan isolasi secara mandiri tetapi harus mengetahui etika batuk sehingga tidak menularkan ke orang lain. “Kalau isolasi secara mandiri tidak selama dia ada etika batuk yang dijalankan. Tidak terlalu banyak kontak dengan orang dan dia juga rajin cuci tangan,” katanya.
Beberapa kendala yang terjadi dilapangan saat melakukan penanganan TBC seperti pasien tidak konsisten konsumsi obat. Dimana, untuk penderita TBC itu kan harus minum obat selama enam bulan. “Ada yang tidak tahan karena terlalu lama pengobatan. Kemudian tidak konsisten mengambil obat di puskesmas. Jadi perlu support dari keluarga,” katanya. (azm)