Mataram (Inside Lombok) – Penyandang disabilitas tersangka kasus dugaan pelecehan seksual, Agus menangis histeris saat diputuskan tidak lagi menjadi tahanan rumah. Berdasarkan hasil keputusan, pemuda asal Kota Mataram itu ditahan di Lapas Kelas II A Kuripan, Lombok Barat.
Selama proses pemeriksaan, Agus ditemani oleh kedua orang tuanya. Saat diputuskan untuk menjadi tahanan lapas, ia menangis histeris dan ditenangkan oleh kedua orang tua. Kuasa Hukum IWAS, Kurniadi meminta agar Agus bisa tetap menjadi tahanan rumah. Karena sebagai penyandang disabilitas membutuhkan pendampingan dalam melakukan aktivitas. “Pilihan tahanan kota masih ragu, ya tahanan rumah,” katanya.
Ia mengatakan, meski Agus menjadi tahanan rumah disebut sangat kooperatif dalam proses hukum. Misalnya dalam pemanggilan untuk pemeriksaan, Agus tetap memenuhi panggilan. “Setiap panggilan dia hadir,” katanya.
Menurut Kurniadi, tangisan Agus saat ditetapkan untuk menjadi tahanan lapas karena tidak lagi didampingi ibunya. Pasalnya selama ini sejak dia lahir hingga usia 22 tahun dibantu oleh ibunya dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi hingga buang air kecil. “Yang melayani kebutuhan prinsip adalah ibunya. Terus dia berpikir bagaimana saya nanti disana. Kita berbicara masalah kenyamanan juga,” ujarnya.
Menurutnya, keputusan Polda NTB yang sebelumnya menjadikan Agus sebagai tahanan rumah sangat diapresiasi. Karena dengan begitu, semua kebutuhan prinsip Agus tetap bisa dilayani oleh orang tuanya terutama ibu. “Pelaku ini penyandang disabilitas harus dilakukan perlakuan khusus. Tanpa alasan yang jelas melakukan penahanan di rutan,” katanya.
Ia menegaskan, harus ada perlakuan khusus yang diberikan terhadap tahanan penyandang disabilitas. Penyiapan fasilitas atau tahanan yang akan ditempati Agus dipastikan harus ramah disabilitas. Selain itu, Agus juga harus dilibatkan dalam penyiapan fasilitas. “Agus dibawa ke sana dulu untuk melihat. Harus ditanya dulu tenaga pendampingnya seperti apa. Kebutuhannya apa saja,” ungkapnya.
Ia juga mempertanyakan tenaga pendamping yang disiapkan untuk Agus. Karena selama ini yang membantu tersangka untuk melakukan kegiatan sehari-hari adalah ibunya. “Tenaga pendamping ini harus diperhatikan lagi. Jangan sampai isu hak asasi manusia meledak lagi,” katanya.
Kurniadi mengaku sudah mengajukan surat agar Agus bisa menjadi tahanan rumah sebelum pelimpahan kasus ke Kejari Mataram. Namun sepertinya pengajuan tersebut belum dilihat dan keputusan sudah ditetapkan Agus sebagai tahanan di Lapas. “Pagi-pagi sekali kami sudah mengajukan permohonan untuk tetap sebagai tahanan rumah. Cuma itu belum dibaca tapi di dalam sudah disampaikan menjadi tahanan di rutan,” katanya.
Agus disangkakan pasal 6 huruf A dan atau huruf E atau pasal 15 huruf E Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), juncto Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 dengan ancaman 12 tahun penjara dan denda maksimal Rp 300 juta. (azm)