Mataram (Inside Lombok) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan atensi kepada Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat terkait dua tunggakan kasus korupsi yang tak kunjung tuntas.
Dirreskrimsus Polda NTB Kombes P I Gusti Putu Gede Ekawana di Mataram, Senin, mengatakan, dua kasus korupsi yang menjadi atensi KPK adalah dugaan penyimpangan dalam pengadaan alat marching band tahun 2017 dan pembangunan proyek Dermaga Gili Air.
“Jadi terkait dua kasus ini, KPK sudah bersurat dan akan melakukan korsup (koordinasi dan supervisi) dengan kami,” kata Ekawana.
Namun untuk teknis pelaksanaan korsup-nya, dia belum dapat pastikan, apakah akan digelar secara virtual atau pertemuan langsung.
“Kami belum tahu seperti apa pelaksanaan korsup nanti, karena situasi sekarang masih Pandemi COVID-19, kita menunggu saja kabar dari KPK,” ujarnya.
Untuk kasus dugaan korupsi penyimpangan pada pengadaan alat kesenian “marching band” yang bergulir di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) NTB tahun 2017, Polda NTB telah meningkatkan status penanganannya ke tahap penyidikan.
Dua tersangka sudah ditetapkan penyidik. Mereka adalah mantan Kasi Kelembagaan dan Sarpras Bidang Pembinaan SMA Dinas Dikbud Provinsi NTB berinisil MI, yang merupakan PPK proyek tersebut dan Direktur CV Embun Emas sebagai pemenang lelang, berinisial LB.
Bahkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTB muncul kerugian negara yang nilainya mencapai Rp702 juta. Nilai tersebut diduga muncul dari pemufakatan jahat kedua tersangka.
Sebelumnya, berkas kasus sudah dilimpahkan ke jaksa. Namun jaksa peneliti melihat masih ada kekurangan sehingga ada petunjuk yang harus dilengkapi penyidik. Petunjuk tersebut terkait harga pembanding barang.
“Iya, itu masih ada perbedaan pendapat terkait penentuan kerugian negaranya,” ujar Ekawana.
Begitu juga dengan kasus dugaan korupsi Dermaga Gili Air, Kabupaten Lombok Utara. BPKP merilis kerugian negara sebesar Rp1,24 miliar. Angka tersebut muncul dari kurangnya volume pekerjaan dan spesifikasi yang tidak sesuai dengan perencanaan.
Namun demikian, jaksa peneliti menilai munculnya kerugian negara yang dirilis BPKP belum spesifik. Sehingga penyidik diminta untuk melengkapinya sesuai petunjuk.
“Jadi hasil BPKP ini yang perlu dikoordinasikan lagi dengan jaksa peneliti. Kami melihat, perlu ada persamaan persepsi dalam melihat kerugiannya,” kata dia.
Dalam penanganan kasusnya, penyidik menyiapkan berkas untuk lima tersangka yang hingga saat ini belum ditahan karena dianggap bersikap kooperatif selama penyidikan.
Lima tersangka tersebut antara lain, pejabat pembuat komitmen (PPK) berinisial AA, yang ketika proyek ini dikerjakan menjabat sebagai kepala Bidang di Dinas Perhubungan, Kelautan, dan Perikanan (Dishublutkan) Lombok Utara.
Kemudian dua tersangka dari pihak pelaksana proyek, berinisial ES dan SU. Dua tersangka lagi, yakni LH dan SW dari pihak konsultan pengawas proyek.
Meskipun berada dalam peran berbeda, namun ke lima tersangka diduga melakukan pemufakatan jahat hingga menimbulkan kerugian negara yang nilainya mencapai Rp1,24 miliar. (Ant)