Lombok Barat (Inside Lombok) – Komisi II DRPD Provinsi NTB turun sidak ke Pasar Seni Senggigi yang saat ini sedang dalam proses pengerjaan untuk penataan kembali. Pasalnya, di tengah proses yang sedang berjalan itu, muncul persoalan adanya pengusaha yang memegang hak guna bangunan (HGB) yang sudah diperpanjang, sehingga menolak untuk dibongkar tempatnya.
Hal ini pun menimbulkan kekhawatiran yang bisa menghambat proyek perbaikan dan penataan pasar seni itu. Sedangkan para pedagang yang lain sudah setuju semua agar lapak mereka dibongkar dan segera ditata. Dengan harapan, agar kedepannya penataan kawasan itu lebih baik dan pengunjung bisa menjadi lebih ramai.
Guna mendapatkan informasi dan mencari solusi atas persoalan ini, Komisi II DPRD NTB pun turun langsung untuk menemui para pedagang dan pihak terkait lainnya yang juga tengah mengerjakan proyek tersebut. Walau tanpa kehadiran pengusaha yang enggan dibongkar tempatnya itu, diskusi dengan para pedagang lainnya berlangsung cukup lama, sejak siang hingga sore hari.
Koordinator pedagang Pasar Seni Senggigi, Supratman Samsi menuturkan bahwa kurang lebih ada sekitar 74 pedagang yang berjualan di Pasar Seni tersebut. “Pasar seni ini adalah ladang usaha untuk kami mencari rizki dan kami disini sudah lama, ada yang 20 tahun, ada juga 30 tahun. Jadi sudah lama sekali,” tuturnya kepada Inside Lombok, Jumat (23/08/2024).
Dia menjelaskan, selama berjualan di pasar seni itu ada dua sistem yang dipergunakan, yakni HGB di atas HPL (Hak Pengelolaan Lahan), kemudian ada juga yang sistemnya kontrak pertahun. Di mana HGB itu diperoleh pedagang dari PT Rajawali, yang saat ini jadi pengelola. Kemudian PT Rajawali yang berkontrak dengan Pemprov selama 30 tahun. Dan kontrak itu sudah berakhir per tanggal 16 Agustus 2024 lalu. Sehingga proyek penataan pun mulai dilaksanakan.
Supratman mengakui, bahwa para pedagang di sana, pada prinsipnya mendukung penataan pasar seni itu. Terlebih, sudah lama sekali kawasan itu mati suri. “Jadi kita begitu mendengar ada penataan, ayo kita benahi,” jelasnya.
Namun ternyata di tengah jalan, ada pedagang yang memperpanjang HGB hingga tahun 2044 mendatang. Dan saat ini menolak untuk tempat usahanya itu dibongkar dalam proyek penataan ini. “Ada dua orang yang Informasinya memperpanjang HGB,” imbuh dia.
Walaupun dia sendiri mengakui bahwa dirinya juga pemegang HGB, namun ketika mengetahui kontrak PT Rajawali dengan Pemprov akan berakhir di tahun 2024 ini. Dirinya langsung berkonsultasi dengan sejumlah pihak. “Dasar itu saya selaku pemilik HGB tidak perpanjang, kecuali kalau ada rekomendasi dari Pemda, saya berani,” akunya.
Di mana dua pengusaha yang memperpanjang HGB itu, ada yang memiliki satu dan ada juga yang memiliki tiga HGB. Dari tiga HGB itu, terdapat dua bangunan yang saat ini terdampak proyek penataan. Satu HGB rata-rata memiliki luasan 50 are. Yang saat ini enggan untuk dibongkar.
Berbagai alternatif solusi pun sudah diupayakan, di mana pengusaha yang terdampak ditawarkan untuk direlokasi sementara waktu ke bangunan yang tak terkena proyek, namun ditolak. Alasan penolakan itu disebutnya, karena pengusaha yang bersangkutan merasa masih memiliki HGB yang baru diperpanjang. Sehingga pihak Dispar Provinsi NTB pun sudah berupaya melakukan mediasi dengan cara persuasif dan humanis.
Sementara itu, anggota DPRD NTB Abdul Hadi mengatakan, pengelolaan aset ini sebelumnya dikerjasamakan Pemprov dengan PT Rajawali, namun kontraknya sudah selesai dan tidak diperpanjang. Sehingga untuk pengelolaannya ke depan perlu diperjelas. Agar ke depannya, pengembangan dan pengelolaan aset Pemprov tersebut bisa lebih maksimal. Termasuk penyelesaian soal HGB itu. “Perlu kita duduk bareng untuk selesaikan, barulah dilanjutkan,” ucapnya.
Pihak legislatif pun tengah mengagendakan pemanggilan kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Untuk membahas persoalan tersebut dan mencari solusi agar tidak ada pihak yang dirugikan dalam hal ini. (yud)