Lombok Tengah (Inside Lombok) – Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Kabupaten Lombok Tengah (Loteng) mendatangi kantor DPRD Loteng untuk menyampaikan keluhan mereka terkait dengan harga tembakau yang anjlok.
Sekjen APTI Loteng, M. Fathoni, menilai penurunan harga tembakau ini sangat merugikan para petani, mereka meminta agar harga dikembalikan seperti harga tahun lalu yang mencapai Rp75 ribu per kilogram. “Jika tahun lalu harga tembakau kualitas bagus bisa mencapai Rp75 ribu per kilogram, sekarang harganya sekitar Rp55 ribu,” ujarnya, Senin (8/9) saat ditemui di Gedung DPRD Loteng.
Selama ini para petani dan pengusaha tembakau pernah melakukan koordinasi untuk menentukan harga beli tembakau kepada para petani. “Tapi saya menduga yang diundang rapat itu adalah orang-orang yang tak berani menyampaikan pendapat saja,” ujar Fathoni.
Untuk itu pihaknya meminta kepada pemerintah daerah (Pemda) untuk menekan para pemilik gudang atau pengusaha agar menyerap tembakau milik petani dengan harga yang sesuai. “Kami meminta harga beli tembakau seperti tahun lalu, kalau misalnya tidak bisa, minimal Rp70 ribu untuk tembakau yang dioven,” imbuhnya.
Fathoni mengakui tahun ini memang petani tidak bisa memproduksi kualitas tembakau sebagus tahun lalu akibat cuaca yang tidak menentu. “Kualitas memang penting, dan kami tidak menampik itu. Tapi cuaca tahun ini membuat kami sulit menghasilkan kualitas sebagus sebelumnya. Di sinilah seharusnya ada peran Pemda untuk membantu,” katanya.
Pihaknya juga meminta para pengusaha untuk menyerap tembakau rajang meski dengan harga yang tidak terlalu mahal. “Kami minta tembakau petani yang coklat bisa diserap juga, supaya kami tidak terlalu merugi,” tandasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Loteng, Muhamad Kamrin, mengatakan pihaknya belum bisa berbuat banyak untuk mengakomodir para petani konvensional karena para pengusaha ini cenderung memiliki petani binaan. “Pengusahaan ini sudah ada petani binaan jadi mereka sudah punya jaminan pasar,” katanya.
Menurut Kamrin, pihaknya memproyeksikan luas tanam tembakau 14 ribu hektar lebih dan 22 ribu petaninya, dari jumlah tersebut tidak sampai 50 persen yang menjadi mitra gudang. “Artinya dari jumlah itu banyak petani swadaya yang belum menjadi mitra dari perusahaan atau dari gudang, ini berpengaruh ketika petani menjual,” tandasnya.

