Mataram (Inside Lombok) – Kunjungan tim penasihat hukum dari Aliansi Mahasiswa dan Rakyat NTB ke Dittahti Polda NTB pada Kamis (2/10) memunculkan sejumlah catatan kritis terkait penahanan empat massa aksi pasca demonstrasi 30 Agustus 2025.
Dalam pertemuan selama satu jam, tim hukum memastikan kondisi fisik para tahanan masih terjaga, namun tekanan psikis yang mereka alami disebut kian mengkhawatirkan, terutama karena memikirkan kondisi keluarga di rumah.
Keempat orang ini ditahan sejak 2 September, sempat ditempatkan di ruang isolasi selama sepekan sebelum dipindahkan ke sel umum. Upaya penangguhan penahanan telah diajukan namun ditolak oleh kepolisian. Kini, mereka menjalani perpanjangan masa tahanan yang menambah ketidakpastian atas nasib hukum mereka.
Kuasa hukum menilai pasal yang disangkakan terlalu berlebihan: Pasal 170 ayat (1) KUHP dan/atau 406 KUHP juncto Pasal 55 (1) KUHP. “Kami menemukan fakta bahwa mereka bukan provokator. Beberapa hanya melakukan pelemparan yang bahkan tidak menimbulkan kerusakan. Tuduhan ini lebih tepat disebut kriminalisasi gerakan rakyat,” tegas Megawati Iskandar Putri, salah satu dari 13 pengacara yang mendampingi kasus ini, Jumat, (03/10).
Tekanan tidak hanya dialami di balik sel. Keluarga para tahanan turut menanggung dampak berat. Salah seorang kakak tahanan mengaku ibunya yang baru kehilangan suami pada Februari lalu kini semakin terguncang mental setelah anak bungsunya ditahan. Di keluarga lain, seorang Ibu mengalami penurunan kesehatan serius, sulit makan, bahkan kerap tersedak karena pikiran terus diliputi kecemasan.
Tak berhenti pada orang dewasa, kasus ini juga menyeret enam anak. Dua di antaranya telah melalui proses diversi di Polda NTB, sedangkan empat lainnya menyelesaikan diversi di Polresta Mataram pada 30 September. Mereka akhirnya dikembalikan kepada orang tua dengan kewajiban sosial, yaitu menghafal Juz 30 dalam waktu tiga bulan.
Menurut Badarudin, perwakilan tim kuasa hukum, perjuangan belum selesai. “Kami akan terus melakukan upaya hukum sampai empat orang yang ditahan ini benar-benar mendapatkan keadilan,” ujarnya. Pernyataan ini menegaskan bahwa persoalan yang mereka hadapi bukan sekadar urusan pidana, tetapi menyangkut hak warga negara dalam ruang demokrasi.
Aliansi Mahasiswa dan Rakyat NTB menilai penahanan ini sebagai preseden buruk bagi iklim demokrasi di Indonesia. Bagi mereka, hukum justru berubah menjadi instrumen untuk membungkam suara rakyat. “Penegakan hukum seharusnya berpihak pada keadilan, bukan menjadi senjata untuk menakut-nakuti masyarakat yang menyampaikan aspirasi,” tutup Badarudin. (gil)

