27.5 C
Mataram
Senin, 22 Desember 2025
BerandaMataramKasus Kematian Brigadir Nurhadi, Kuasa Hukum Sebut Proses Hukum Ipda Aris Cacat...

Kasus Kematian Brigadir Nurhadi, Kuasa Hukum Sebut Proses Hukum Ipda Aris Cacat Prosedur

Mataram (Inside Lombok) – Kasus kematian Brigadir M. Nurhadi di Gili Trawangan kembali menjadi sorotan. Kuasa hukum terdakwa Ipda I Gede Aris Chandra Widianto menilai proses hukum terhadap kliennya banyak kejanggalan dan sarat pelanggaran prosedur.

Advokat I Gusti Lanang Bratasuta menyebut penetapan tersangka hingga hasil sidang etik Polri terhadap Aris Chandra mengandung kekeliruan hukum. “Sejak awal kami melihat ada banyak hal yang tidak sesuai prosedur. Bahkan, pasal yang digunakan untuk menangkap dan menahan klien kami—Pasal 359 KUHP—hilang dari berkas ketika perkara dilimpahkan ke jaksa,” ujarnya, Jumat (31/10/2025).

Ia menilai hal tersebut bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga berpotensi melanggar hak asasi manusia. “Orang bisa ditahan karena pasal yang tidak lagi ada di berkas? Ini kan janggal. Kami akan pertanyakan hal itu secara hukum,” tegasnya.

Selain aspek pidana, Bratasuta juga menyoroti keputusan Komisi Kode Etik Polri (KKEP) yang menjatuhkan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) kepada kliennya. Menurutnya, sidang etik dan banding cacat formil karena dipimpin oleh ketua komisi yang sudah dimutasi dari jabatannya.

“Ketua komisi banding saat itu sudah dimutasi menjadi pejabat di Lemdiklat Polri, tapi tetap memimpin sidang banding di Polda NTB. Ini jelas melanggar aturan formal dan membuat putusan itu tidak sah,” katanya.

Atas dasar itu, pihaknya telah mengajukan peninjauan kembali (PK) kepada Kapolri dan menyiapkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk menguji keabsahan keputusan PTDH tersebut. Ia juga menyoroti pemberitaan publik yang dinilai menggiring opini seolah kliennya berpesta narkoba dan minuman keras sebelum kejadian.

“Hasil tes urine, darah, dan rambut klien kami semuanya negatif. Tapi fakta ini tidak pernah disampaikan ke publik,” ujarnya.

Bratasuta menyebut penyidik tidak cermat menilai alat bukti karena hasil laboratorium tidak dilampirkan dalam berkas perkara. “Ini bentuk ketidakadilan yang nyata,” tegasnya. Dalam sidang perdana di PN Mataram, Senin (27/10), jaksa mendakwa Aris Chandra ikut dalam penganiayaan terhadap korban. Namun, kuasa hukum menilai bukti menunjukkan sebaliknya.

“Klien kami keluar dari vila pukul 20.00 Wita, dan peristiwa tenggelamnya korban baru terjadi sekitar pukul 21.18 Wita. Ada rekaman CCTV yang membuktikan hal itu,” ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa rekaman video call antara AKP Rayendra dan korban menggunakan ponsel milik Ipda Aris menunjukkan kliennya tidak berada di lokasi saat kejadian. Kuasa hukum akan mengajukan eksepsi atas dakwaan jaksa pada sidang berikutnya, Senin (3/11/2025).

“Kami menolak dakwaan yang menuduh klien kami melakukan penganiayaan. Banyak fakta yang belum terbuka, dan kami siap buktikan semuanya di pengadilan,” tegasnya.

Bratasuta berharap media menyajikan pemberitaan secara berimbang agar publik tidak terpengaruh opini yang belum tentu benar. “Peran media sangat penting. Kami mohon agar informasi yang disampaikan objektif,” katanya.

Ia menambahkan, kliennya telah mengabdi lebih dari 15 tahun di kepolisian dan memiliki keluarga yang terdampak proses hukum tersebut. “Klien kami bukan hanya polisi, tapi juga ayah dan kepala keluarga. Kami ingin keadilan ditegakkan tanpa mengorbankan martabat seseorang,” pungkasnya.

- Advertisement -

Berita Populer