Mataram (Inside Lombok) – DPRD dan Pemerintah Kota Mataram sudah mengajukan penolakan penghapusan honorer tahun 2023 ini. Hal ini dilakukan karena pemerintah Kota Mataram keterbatasan tenaga ASN, sehingga membutuhkan tenaga honorer untuk memaksimalkan pelayanan bagi masyarakat.
“Kita dalam posisi berjuang untuk tidak diberlakukan (penghapusan honorer). Penolakan sudah kita sampaikan ke kementerian terkait. Pak Wali sudah bersurat, dan kami sudah bersurat,” kata Ketua DPRD Kota Mataram, H. Didi Sumardi.
Ia mengatakan surat penolakan yang sudah diajukan belum ada jawaban. Karena pemerintah pusat juga masih menampung masukan dari semua daerah di Indonesia terkait kebijakan penghapusan tenaga non ASN pada November mendatang. “Beberapa pertemuan di pusat masih menampung sebagai masukan-masukan,” ujarnya.
Menurutnya, penolakan kebijakan penghapusan tenaga honorer tersebut tidak saja datang dari Kota Mataram saja, melainkan semua daerah di Indonesia. Sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI) juga sudah membahas kebijakan tersebut di dalam forum untuk ditolak.
“Di beberapa momen kita (ADEKSI, Red) sampaikan dan ada secara khusus kita bahas masalah itu di forum ADEKSI. Itu sudah kita sampaikan,” katanya.
Diterangkannya, hampir semua daerah di Indonesia kekurangan tenaga ASN, terutama guru dan tenaga medis. “Seluruh daerah itu dalam posisi defisit soal itu (ASN, Red). Tidak ada yang surplus atau tercukupkan,” katanya.
Kekurangan ASN yang terjadi di setiap daerah disebabkan karena jumlah yang pensiun tidak sebanding dengan rekrutmen yang dilakukan pemerintah pusat. “Ini kan otoritas pemerintah pusat soal aparatur,” katanya.
Dengan demikian langkah yang diambil pemerintah daerah untuk bisa memaksimalkan pelayanan dasar yaitu dengan mengangkat Pegawai Tidak Tetap (PTT) dan Guru Tidak Tetap (GTT). “Ini kan juga menimbulkan masalah juga karena posisinya adalah menurut regulasi itu dibatasi,” terangnya.
Menurutnya, jika kebijakan tersebut tetap diberlakukan maka pelayanan di pemerintahan tidak bisa berjalan. “Itu nanti lumpuh pelayanan,” kata Didi.
Sementara itu, rekrutmen pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K) yang sudah direalisasikan nyatanya tidak bisa menyelesaikan persoalan tenaga honorer yang ada di daerah. Hal ini disebabkan karena banyak yang tidak bisa diakomodir. “Ini menyulitkan juga,” tutupnya. (azm)